Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Regulasipun Tidak Berpihak Pada Petani Garam

  • Kamis, 23 Februari 2012
  • 1201 kali
Kliping Berita

Potensi garam di Indonesia boleh dibilang tak terhingga, di Pulau Jawa saja hampir sepanjang Pantura sampai Madura merupakan potensi tambak garam yang sebenarnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, total kebutuhan garam nasional saat ini telah mencapai 3,4 juta ton per tahun. Sekitar 1,6 juta ton untuk kebutuhan garam konsumsi dan sekitar 1,8 juta ton untuk kebutuhan garam industry

Mengapa petani garam tetap saja miskin? Meskipun di tingkat pengecer harga garam dapur beryodium antara 6000 hingga 8000 rupiah perkg nya, di tingkat petani tidak lebih tinggi dari 750 rupiah perkilogramnya, bahkan ada yang hanya menghargai 450 rupiah saja. Sementara itu produktivitas tambak-tambak garam di Indonesia hanya menghasilkan 99 ton pertahun dari setiap hektarnya.

Rumitnya persyaratan memperoleh izin perdagangan garam menyebabkan petani hanya mampu menjual garam mentah karena garam yang diperdagangkan dinyatakan WAJIB SNI. Artinya bahwa produsen garam tersebut harus berupa perusahaan yang memiliki sistem kendali mutu yang baik berikut laboratorium pengujiannya. Dengan sederet persyaratan tersebut, petani garam tidak pernah mampu membuat nilai tambah sendiri untuk meningkatkan harga jual garamnya.

Nilai tambah dari 750 ke 6000 adalah angka yang tidak kecil. Jika petani dapat menikmati nilai tambah garam itu 250 rupiah saja dari setiap kg nya, maka dari setiap hektar tambak akan diperoleh keuntungan 24 juta pertahun. Sedangkan jika tanpa nilai tambah, mereka hanya mendapat sedikit upah capek saja.

Padahal peningkatan nilai tambah garam bukanlah sesuatu yang rumit dan berteknologi tinggi yang sulit dijangkau. Namun dengan regulasi yang ada sekarang, yang menikmati nilai tambah garam adalah para tengkulak, industri, distributor dan mata rantai perdagangannya.

Seharusnya, pemerintah memiliki inovasi agar nilai tambah garam tersebut dapat dinikmati para petani juga. Salah satunya adalah melalui sistem maklun, seperti yang dilakukan oleh pabrik tahu Cibuntu Bandung. Di pabrik tahu kuning yang rasaya “jaminan mutu” tersebut, orang datang membawa kedelai untuk diproses menjadi tahu, dengan membayar sekian rupiah setiap kgnya. Dengan cara demikian, setiap orang dapat menjadi produsen tahu tanpa harus punya pabrik tahu.

Dengan mengadopsi sistem di atas, jika di setiap sentra garam dibangunkan pabrik-pabrik garam yang khusus melayani maklun pengolahan garam sampai mendapat sertifikat SNI, tentu sebagian nilai tambah garam bisa dinikmati petani. Jika ada kemauan, pemerintah mudah saja mendirikan pabrik-pabrik tersebut karena biayanya hanya beberapa milyar saja demi meningkatkan kesejahteraan ribuan petani garam tersebut.

Semoga saja pemerintah sudah mengarah ke sana….

Sumber : kompasiana.com, Kamis 23 Februari 2012.
Link : http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/23/regulasipun-tidak-berpihak-pada-petani-garam/




­