Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Perlunya Sinergi Membangun Kawasan Ekonomi

  • Selasa, 07 Februari 2012
  • 915 kali
Kliping Berita

Selama ini, perbedaan paradigma dalam memandang esensi dari kawasan free trade zone (FTZ) oleh para pebisnis di Batam, Bintan, Karimun (BBK), serta pemerintah pusat memicu perombakan-perombakan regulasi. Kondisi ini berdampak pada terciptanya situasi investasi yang kurang kondusif yang bermuara pada penurunan pertumbuhan industri di BBK.

Mantan Menteri Keuangan, pernah berkunjung ke Batam untuk menyosialisasikan PP 02/2009 yang ketika itu mendapat protes keras dari pebisnis di BBK karena ketentuan master list untuk ekspor dan impor barang akan menambah birokrasi dan biaya. Pengusaha di BBK saat itu masih mempertanyakan keseriusan pemerintah pusat mengurus FTZ BBK karena masih banyak aturan yang memberatkan.

Ketika itu pemerintah menjawab dengan tegas bahwa meskipun BBK berstatus kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas, bukan berarti tidak ada aturan di dalamnya. Hanya saja, aturan yang dibuat pemerintah tentunya lebih longgar dibanding aturan yang ada di daerah lain yang tidak berstatus FTZ.

Pada akhirnya, pengusaha dan sejumlah pejabat di BBK seolah kompak minta agar PP No 02 Tahun 2009 direvisi dengan menghapuskan master list serta pasal lain yang memberatkan pengusaha. Setelah hampir tiga tahun, pemerintah akhirnya merespons keinginan stake holder di BBK dengan menerbitkan PP No 10/ 2012.

Namun, seperti sudah diduga, pengusaha dan stake holder di BBK kembali menolak aturan tersebut karena dinilai tidak banyak berubah jika dibanding aturan sebelumnya. Hal ini diakui juga oleh Ketua Apindo Kepri, Cahya. Ia mengatakan PP No 10/2012 memang belum menyelesaikan persoalan yang melingkupi pelaksanaan FTZ BBK sebab banyak kewenangan yang tidak jelas dan berbenturan dengan perundang-undangan lainnya.

Contohnya, berbenturan dengan peraturan menteri pertanian tentang pembatasan impor sayur dan buah serta kebutuhan pokok masyarakat. Aturan lainya yang bisa menjebak adalah terkait dengan undang-undang perlindungan konsumen, khususnya soal penerapan label SNI (Standar Nasional Indonesia). Mestinya, SNI tidak diberlakukan di kawasan FTZ sebab barang impor yang masuk ke BBK diduga sudah sesuai dengan standar internasional sehingga SNI tidak diperlukan lagi.

"Sertifikasi standar suatu produk mestinya dikeluarkan oleh negara pengekspor, misalnya jika barang datang dari Singapura, maka standar barangnya berdasarkan sertifikasi negara tersebut sehingga tidak perlu lagi SNI," katanya.

Wakil Gubernur Kepri Soerya Respatriono menuturkan pengusaha semestinya tidak melihat pasal per pasal dari PP No 10/2012, tetapi harus dilihat secara keseluruhan agar tidak menimbulkan salah pengertian. Selama ini, pengusaha di BBK memandang FTZ sebagai kawasan bebas sehingga aktivitas ekspor dan impor bisa dilakukan secara bebas untuk seluruh barang kecuali barang yang menjadi negative list.

Namun, bagi pemerintah pusat, FTZ bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Masih ada aturan yang harus dipatuhi pengusaha dan FTZ juga harus berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah lainnya. gus/E-12

Sumber : Koran Jakarta, Selasa 07 Februari 2012, hal 9




­