Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Genjot Diversifikasi Pangan

  • Selasa, 07 Februari 2012
  • 1541 kali
Kliping Berita

JAKARTA - Pemerintah harus menggenjot diversifikasi pangan nonberas dengan program konkret dan dukungan anggaran sangat kuat, sebagaimana dilakukan terhadap beras. Tingginya pertumbuhan penduduk dan sulitnya meningkatkan produktivitas padi, ketergantungan terhadap beras akan menjadi bom waktu yang bisa mengguncang stabilitas dan keamanan nasional.

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat Khudori mengingatkan, bila kondisi seperti saat ini dibiarkan, Indonesia ke depan terancam kekurangan beras yang kronis. Kekurangan pangan pokok berpotensi besar memicu kerusuhan masyarakat, apalagi ketersediaan beras untuk diperdagangkan dj pasar internasional diproyeksikan kian tipis dan perluasan lahan pertanian semakin susah.

"Jika dulu zaman Orde Baru pertumbuhan penduduk bisa dikontrol di bawah 1%, kini mencapai 1,49% atau ada 3,5 juta mulut baru yang harus dipenuhi kebutuhan berasnya. Di sisi lain, tahun lalu saja, produksi dan produktivitas beras turun," ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (6/2).

Sebelumnya, Ketua Umum Kadin bidang Agribisnis, Pangan, dan Peternakan Franky Oesman Widjaya menilai, konsumsi beras di Indonesia terlalu tinggi. Saat ini, konsumsi beras Indonesia rata-rata mencapai 139 kg per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk 241 juta jiwa, maka total konsumsi beras 33,54 juta ton per tahun. "Idealnya, kita bisa mengurangi konsumsi beras hingga 50%. Kalau bisa mengurangi konsumsi beras 10% saja, kita tidak perlu lagi impor beras," jelas dia.

Untuk mencapai swasembada pangan, menurut Franky Widjaya, pemerintah bisamengacu pada strategi pengembangan sektor perkebunan kelapa sawit yang menjadikan Indonesia produsen nomor satu di dunia. Cara yang sama juga pernah ditempuh Brasil. "Kami tidak menggampangkan masalah, tapi pemerintah harus berani dan fokus pada satu hal. Sawit kita bisa jadi contoh," kata Franky.

Untuk memenuhi konsumsi beras di dalam negeri, Indonesia membutuhkan tambahan suplai beras 0,49 juta ton atau lahan panen baru 150 ribu hektare. Ini dengan asumsi rata-rata produktivitas padi 4,94 ton/hektare dan rendemen beras 62,74%. Padahal, luas sawah subur di Jawa semakin merosot dan konversi lahan sawah ke nonpertanian diperkirakan mencapai 110.000 hektare per tahun.

Pada 2011, impor beras sudah sekitar 2,75 juta ton. Vietnam merupakan pemasok beras terbesar. Berdasarkan Angka Ramalan (Aram) IH Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi Indonesia 2011 sebanyak 65,39 juta ton gabah kering giling (GKG) atau turun 1,08 juta ton dibanding 2010. Hal ini disebabkan penurunan luas panen 29,07 ribu hektare dan produktivitas 0,71 kuintal/hektare.

Produksi komoditas pangan pen-ting lain seperti jagung diproyeksikan merosot 1.10 juta ton menjadi 17,23 juta ton pipilan kering, meski produktivitas meningkat 0,16 kuin-tal/hektare. Produksi kedelai menyusut 36,96 ribu ton menjadi 870,07 ribu ton biji kering, meski produktivitas tumbuh 0,05 kuintal/hektare.

Menteri Pertanian Suswono mengakui, target penurunan 1,5% konsumsi beras per tahun masih belum tercapai meski Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Dia berharap, program diversifikasi pangan itu dapat mengubah pola konsumsi karbohidrat beras kepada jenis karbohidrat lainnya atau idealnya dari karbohidrat kepada protein. "Indonesia sebenarnya memiliki potensi lahan yang sangat luas dan tersebar hingga ke berbagai desa pelosok yang belum termanfaatkan secara optimal," jelas Suswono.

Melihat kenyataan itu, menurut Suswono, pemerintah sangat mendukung program Kadin untuk memperkuat keamanan pangan nasional. Pemerintah akan memberikan insentif bagi investor yang berniat menanamkan modal di sektor pangan, antara lain lewat insentif bagi yang masuk ke daerah dengan infrastruktur belum terbangun dan ke pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK).

Kementerian Pertanian akan melaksanakan rencana strategis 2010-2014, yang difokuskan untuk menca-pai empat target sukses. "Target tersebut adalah swasembada dan swasembada berkelanjutan, peningkatan produksi, diversifikasi, serta peningkatan kesejahteraan petani," tutur dia.

Era Orde Baru

Menurut Khudori, ketergantungan penduduk terhadap beras yang tinggi itu tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Orde Baru. Pada 1964, ketergantungan beras hanya 53%. Selebihnya, masyarakat memakan singkong, jagung, kentang, dan umbi-umbian.

Dengan program swasembada beras Orde Baru yang at all cost, ketergantungan terhadap konsumsi beras tumbuh mencapai 90% tahun 1986-1987. Program penyeragaman ke pangan pokok beras ini mencurahkan banyak anggaran, tenaga, dan perhatian pemerintahan Presiden Soeharto waktu itu.

Revolusi hijau atau intensifikasi pertanian mewajibkan petani mengikuti program Bimas dan Inmas. Intinya, petani harus menggunakan paket teknologi yang mengganti jenis padi lokal dengan varietas unggul tahan wereng (VUTW), perbaikan pengolahan tanah, pengairan, penggunaan pupuk lengkap, pengaturan jarak tanam dan populasi tanaman, serta penanganan pascapanen.

Petani tak hanya diperkuat kelembagaannya lewat kelompok tani dan mendapat kredit dengan bunga subsidi, mereka juga diberi sanksi tanamannya dicabuti oleh petugas de-sa/kecamatan jika tidak patuh. Di-bentuk pula Pos Simpul Koordinasi (Posko) mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga desa, serta melibatkan lintas departemen untuk mengawasi, mengevaluasi, dan melakukan penindakan. Hasilnya, Indonesia yang semula pengimpor beras terbesar diduniamencapai swasembada tahun 1984 dan meme roleh medali dari Food and Agricultural Organization (FAO).

Menurut Khudori, jika untuk mengubah dari keberagaman pangan pokok menjadi seragam butuh waktu 30 tahun, diversifikasi pangan juga membutuhkan waktu panjang. Pangan alternatif ini juga harus tersedia setiap waktu dan mudah diperoleh di berbagai tempat, atau setidaknya di daerah sasaran.

Yang lebih penting lagi, nilai gia-nya tinggi seperti beras dan terjangkau hingga masyarakat yang paling miskin di Tanah Air. "Pangan untuk diversifikasi harus berkualitas setara beras, yang merupakan pangan pokok paling unggul dibanding yang lain seperti gandum, singkong, dan jagung. Selain kalorinya tinggi, kandungan protein cukup, sehingga dengan konsumsi sedikit protein saja orang tidak akan kurang gizi," ucap dia.

Ia menjelaskan, terigu mempunyai kandungan protein lebih tinggi dari beras karena diberi pengayaan atau fortifikasi, yang merupakan penambahan zat gizi untuk mencegah gangguan gizi. Fortifikasi untuk terigu yang dijual di Indonesia ini diwajibkan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Misalnya dipilih singkong yang mudah tumbuh dan produktivitas bisa mencapai 25-30 ton/hektare, ini juga harus dijadikan tepung dan di-fbrtifikasi. Agar harganya terjangkau seperti beras, pemerintah juga harus menyubsidi dan menyediakan alokasi seperti program beras untuk keluarga miskin (raskin)," ujar Khudori.

Tidak harus dikonsumsi seperti nasi, tepung singkong yang difortifi-kasi bisa secara luas digunakan untuk berbagai macam bahan makanan atau kue, seperti terigu saat ini. Di sisi lain, jika bisa menggantikan 20-30% dari kebutuhan gandum/tepung impor yang sekitar 5,85 juta ton tahun 2010, efek ganda (multiplier effect) yang dihasilkan juga luar biasa dan menciptakan banyak lapangan kerja. Pada semester 1-2011, BPS mencatat impor gandum sudah mencapai 2.8 juta ton dengan nilai USS 1 miliar dan impor tepung terigu 3165 ribu ton.

Daging ke Ikan

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutarjo mengatakan, pengalihan konsumsi masyarakat dari daging ke ikan merupakan langkah positif. Selain ikan dikenal berprotein tinggi, sumber pangan ini mudah diperoleh dari dalam negeri.

"Jika daging sapi sebagian (sekitar 30%) harus diimpor dan memakan biaya tinggi, ikan bisa diproduksi dari dalam negeri dengan volume besar," kata Sharif kepada Investor Daily A Jakarta, kemarin.

Ia menegaskan, konsumsi ikan sebagai sumber pangan berprotein menjadi tren dunia. Di Tiongkok dan sejumlah negara maju, konsumsiikan makin meningkat tiap tahun. "Jepang adalah konsumen ikan paling besar di dunia, dengan volume 150 kg/orang/tahun," kata Sharif.

Dia mengharapkan, pengalihan konsumsi daging sapi ke ikan di Indonesia menjadi gerakan nasional. Jika saat ini tingkat konsumsi ikan RI baru mencapai 31 kg/orang/tahun, pada 2014 ditargetkan meningkat jadi 40 kg.

Sharif optimistis, peningkatan volume konsumsi ikan bisa diimbangi dengan peningkatan produksi. "Produksi ikan bersumber dari perikanan tangkap dan budidaya. Produksi ikan nasional ini dipastikan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk Indonesia, bahkan bisa dibilang hingga berapapun volumenya," tutur dia.

Sharif menambahkan, pihaknya berupaya meningkatkan konsumsi ikan di dalam negeri melalui Gerakan Makan Ikan atau Gemar Ikan. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga meluncurkan program "Mari Makan Ikan".

Selain mendongkrak minat masyarakat mengonsumsi ikan, program ini sejalan dengan upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menaikkan produksi perikanan nasional dan gizi masyarakat "Program Mari Makan Ikan diyakini bisa memperluas dan memperkuat industri perikanan seperti di Jepang.

Di Indonesia, minat makan ikan masih rendah karena dipengaruhi Belanda yang mengajak kita berorientasi ke darat, bukan ke laut," kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto di Jakarta, fina

Sumber  : Investor Daily, Selasa 07 Februari 2012




­