Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Susu Anak, Siapa Peduli

  • Senin, 21 Maret 2011
  • 1378 kali
Kliping Berita

Tata niaga susu saat ini kian menegaskan ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib generasi muda dan kesejahteraan rakyat. Harga susu berkualitas merangkak naik akibat pengenaan bea masuk (BM) 5% atas bahan baku impor.

Masyarakat menengah-bawah, yang menjadi mayoritas bangsa ini, akhirnya memilih produk berharga lebih murah, yakni susu impor asal RRT meski berkualitas rendah, bahkan sempat ditemukan melamin. BM 5% untuk semua bahan baku pangan impor merupakan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah lainnya.

Pertama, pemerintah baru saja membebaskan semua impor produk pangan untuk menekan inflasi, tapi BM bahan baku pangan impor justru dikenakan 5%. Mestinya yang dikenakan BM justru produk pangan, bukan bahan baku pangan impor.

Kedua, BM pangan impor bertentangan dengan visi pemerintah yang pro-growth, pro-job, dan pro-poor. Bahan baku pangan diperlukan untuk industri pangan dalam negeri. Bahan baku susu sapi —yang selama ini paling banyak dipasok dari Australia dan Selandia Baru— diperlukan untuk mendukung industri susu dalam negeri.

Dengan naiknya harga bahan baku, industri harus menaikkan produk susu. Jika konsumen mengalihkan pilihan mereka ke produk susu impor yang lebih murah, industri susu dalam akan kesulitan. Pertumbuhan ekonomi akan menurun dan penyerapan tenaga kerja akan melemah. Angka kimiskinan bakal meningkat. Visi pro-growth, projob, dan pro-poor tinggal retorika.

Dampak BM susu impor sangat serius. Karena di samping 70% bahan baku susu diimpor, ada sekitar 30% susu dipasok oleh peternak lokal. Bila kegiatan industri susu dalam negeri menurun, daya serap terhadap bahan baku susu lokal pun menurun. Jika kondisi ini terus berlangsung, tingkat kesejahteraan peternak akan semakin menurun. Indonesia terlalu cepat menyetujui free trade agreement dengan RRT, negeri yang saat ini menjadi eksportir terbesar di dunia.

Tanpa lewat pengkajian seksama, Indonesia bersama Negara anggota Asean lainnya menandatangani Asean + China Free Trade Agreement (ACFTA). RRT diterima masuk kawasan perdagangan bebas bersama Asean. Indonesia dan anggota Asean lainnya lupa bahwa RRT adalah eksportir berbagai produk dengan harga murah, dan agak mengabaikan kualitas.

Impor susu dan makanan asal RRT harus diterima dengan ekstra hati-hati. Susu bayi yang terkontaminasi melamin menunjukkan bahwa pemerintah gagal melindungi rakyatnya.

Indonesia masih juga menampilkan diri sebagai negeri tanpa standar. Standar Nasional Indonesia (SNI) di bawah Kementerian Perindustrian tidak bekerja dalam impor produk susu. Lembaga yang bertanggung jawab terhadap label juga tidak optimal melindungi konsumen.

Kita membutuhkan produk susu dengan harga terjangkau. Tapi, kita lebih membutuhkan produk susu yang higienis dan bebas kontaminasi. Oleh karena itu, kita mengimbau lembaga yang bertanggung jawab terhadap SNI dan label untuk bekerja lebih serius dan penuh tanggung jawab. Masa depan Indonesia sepenuhnya berada di tangan anak-anak yang saat ini membutuhkan produk susu yang sehat dengan harga terjangkau.

Kita mendesak pemerintah untuk segera membebaskan BM bahan baku susu impor. Jika BM produk susu impor dinolkan, maka BM bahan baku susu impor pun harus dinolkan. Harmonisasi tarif ini perlu segera dilakukan demi industri susu dalam negeri, demi para peternak sapi lokal, dan demi masa depan anak-anak Indonesia.

Konsumsi susu Indonesia hanya 10,5 kg per kapita per tahun. Jauh di bawah konsumsi susu rakyat Filipina yang mencapai 20 kg, Malaysia 23 kg, Singapura 32 kg, dan India yang sudah 75 kg. Tidak heran jika kualitas manusia Indonesia umumnya di bawah Negara tetangga. Jika kita ingin konsumsi susu anak Indonesia meningkat sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat, industri susu dalam negeri perlu diselamatkan. Apalagi, kualitas produk industri susu dalam negeri sudah teruji.

Membangun industri susu dalam negeri perlu sejalan dengan upaya meningkatkan populasi sapi perah. Saat ini, produksi dan produktivitas bahan baku susu sapi Indonesia sangat rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh jumlah sapi per peternak yang hanya sekitar 2 ekor per keluarga.

Untuk menaikkan produk dan produktivitas bahan baku susu sapi, pemerintah perlu memberikan bibit sapi unggul dan pendampingan. Jika pemerintah serius dan sepenuhnya bekerja untuk rakyat, industri susu dalam negeri tidak perlu impor bahan baku susu. Seratus persen bahan baku untuk industri susu dalam negeri bisa dipenuhi oleh peternak Indonesia, bahkan bisa mengekspor.

Menko perekonomian diharapkan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kesehatan. Karena Kementerian Kesehatan berada di bawah Kantor Menko Kesra, tidak ada salahnya menko kesra juga dilibatkan.

Kendati ada menteri koordinator, dalam kenyataan, koordinasi masih menjadi barang mewah di Indonesia. Ketika perihal BM bahan baku susu impor ditanyakan kepada para menteri teknis, masing-masing menjawab tidak tahu. Kesan menonjol adalah saling lempar tanggung jawab. Menko diharapkan lebih berperan.

Sumber : Investor Daily, Senin 21 Maret 2011.
Link : http://www.investor.co.id/tajuk/susu-anak-siapa-peduli/8098




­