Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Mendesak, Standardisasi Benih Udang Windu

  • Selasa, 15 Maret 2011
  • 1914 kali
Kliping Berita

Jakarta, Kompas - Pembudidaya udang windu berharap pemerintah segera menetapkan standardisasi produksi benih udang windu. Budidaya udang windu yang merupakan spesies asli Indonesia masih tertinggal karena tidak ada kepastian mutu benih.

Karyoso, pembudidaya udang windu (Penaeus monodon) di Desa Depok, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Senin (14/3), menuturkan, benih udang (benur) windu yang dibeli di pasar lokal rentan terhadap penyakit. Angka kematian yang ditimbulkan akibat serangan itu mencapai 40 persen.

Ukuran benur yang dijual juga tidak seragam sehingga memicu tingkat pertumbuhan yang berbeda. Namun, pembudidaya udang windu tidak punya pilihan dalam mencari benur yang berkualitas karena pasokan benur sangat minim.

”Keterbatasan pasokan benur membuat pembudidaya berebut sehingga benur yang diambil tidak sesuai standar. Diharapkan ada standardisasi benur agar pembudidaya tidak dirugikan,” ujar Karyoso.
Di Kalimantan Timur, salah satu sentra produksi udang windu, pembenihan udang masih sulit dilakukan karena tingkat keasaman air, dan daya dukung lingkungan. Pasokan benur umumnya didatangkan dari luar kota, seperti Situbondo dan Surabaya, Jawa Timur. Keterbatasan pasokan benur itu membuat pembudidaya tidak punya daya tawar untuk memilih benur berkualitas.

Kepala Program Udang Windu Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara Fairus Mai Soni mengakui, budidaya udang windu mulai bangkit di tingkat lokal dalam beberapa tahun terakhir.

Meskipun demikian, pihaknya masih sulit mengontrol kualitas benur lokal tersebut. Apalagi, kebutuhan pasar masih sangat tinggi dan belum ada mekanisme sanksi bagi produsen benur yang tidak bermutu. ”Peran karantina diperlukan untuk memastikan benur yang dipasarkan bermutu baik,” ujarnya.

Setiap tahun, kebutuhan nasional benur windu rata-rata mencapai 40 miliar benur, tetapi yang tercukupi hanya sekitar 50 persen. Sebagian kebutuhan benur dipasok oleh pembenih lokal.

Produksi benur windu dari BBPBAP Jepara berkisar 10 juta ekor. Benur itu hanya cukup untuk memasok kebutuhan pasar di Gresik, Jawa Tengah, dan Demak. Harga benur windu berkisar Rp 20-Rp 25 per ekor.

Sudarsono, pembenih udang windu di Desa Bulu, Kota Jepara, mengemukakan, total produksi benur windu di kawasan itu mencapai 5 juta ekor per bulan. Namun, jumlah itu kerap tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan petambak. Padahal, potensi budidaya udang windu tergolong tinggi sebab harga jualnya bagus. Pihaknya hanya mampu menyuplai kebutuhan benur di Jepara, Semarang, dan Demak.

Perlu fokus

Ketua Umum Komisi Udang Indonesia Shidiq Moeslim mengemukakan, Indonesia sepatutnya belajar dari kelalaian tahun 2003 yang menyebabkan produksi udang windu terpuruk akibat serangan penyakit, terutama bintik putih.

Kegagalan produksi udang windu menjadi ironi mengingat Indonesia pernah menjadi produsen udang windu terbesar dunia pada 1992. Kini, produsen udang windu seperti India dan Vietnam mulai mengurangi produksi akibat penyakit.

”Kondisi ini seharusnya menjadi peluang bagi Indonesia untuk bekerja keras membenahi sistem produksi,” ujarnya.

Pola budidaya yang cocok diterapkan adalah tradisional, ataupun semiintensif. Produktivitas benur dengan pola semiintensif mencapai 1,5 ton per hektar. Namun, harga jual bisa 10 persen lebih tinggi dibandingkan harga udang vaname.

Diperlukan fokus produksi pada wilayah yang cocok untuk pengembangan udang windu, di antaranya Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan NAD.

Menurut Fairus, masih ada kecenderungan perilaku petambak untuk beramai-ramai menebar benur pada saat harga udang sedang tinggi. Sebaliknya, saat produksi anjlok atau harga jatuh, mereka juga berbondong-bondong beralih produksi. Kondisi itu mendorong produksi udang windu penuh ketidakpastian.

Untuk itu, pihaknya kini mengarahkan budidaya udang masyarakat dengan pola kluster atau berkelompok di satu kawasan guna memudahkan pengawasan. Pola itu mulai dikembangkan di Demak, Pati, Brebes, dan Gresik. (LKT)

Sumber : Kompas, Selasa 15 Maret 2011. Hal. 19




­