Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Takut Rugi, Jatim Hentikan Ekspor Kakao

  • Selasa, 13 April 2010
  • 1357 kali

Kliping Berita

SURABAYA - Kalangan eksportir kakao di Jatim memilih menghentikan kegiatan bisnisnya mulai bulan ini untuk menghindari kerugian setelah diberlakukan bea ekspor komoditas kakao sebesar 5-15% mulai awal April 2010.

"Kami lebih memilih menghentikan ekspor kakao untuk sementara. Sebab, jika kami tidak melakukan hal ini, maka kerugian yang akan kami rasakan sangat besar," kata Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPE1) Jawa Timur Isdarmawan Asyrikan di Surabaya, Senin (12/4).

Isdarmawan menyatakan, selama ini ekspor kakao asal Jatim mencapai sekitar 20.000 ton per tahun. Negara tujuan ekspor terbesar adalah sejumlah negara di Eropa, Malaysia, dan Amerika Serikat. Sementara harga kakao saat ini mencapai US$ 2.750 per ton, sehingga total nilai ekspor kakao Jatim mencapai US$ 55 juta per tahun.

Lebih lanjut dia menjelaskan, pihaknya akan menghentikan kegiatan ekspor kakao sampai pemerintah mau memenuhi tuntutannya. Pasalnya, dengan diberlakukannya kebijakan tersebut, eksportir kakao, khususnya Jatim berpotensi menanggung kerugian yang diperkirakan mencapai Rp 49,5 miliar.

"Jika bea ekspor diberlakukan, katakanlah sebesar 10%, maka biaya yang harus dikeluarkan eksportir mencapai US$ 5,5 juta atau sekitar Rp 49,5 miliar per tahun," terang Isdarmawan.

Dia menyadari bahwa kebijakan tersebut memang untuk melindungi industri pengolahan cokelat dalam negeri. Namun dia tetap berharap agar pemerintah juga tidak mengesampingkan kepentingan petani dan eksportir.

"Untuk itu, kami meminta kepada pemerintah agar meninjau ulang pemberlakuan kebijakan bea ekspor kakao ini, Kalaupun harus diberlakukan, kami minta pemerintah memberikan tenggat waktu agar ada penyesuaian," pungkasnya.

Pemerintah telah mencanangkan gerakan nasional (gernas) fermentasi kakao. Fermentasi kakao dilakukan untuk memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang akan diberlakukan mulai tahun depan.

Sesuai program menteri pertanian selama lima tahun ke depan, produksi kakao akan lebih banyak dilakukan dengan fermentasi. "Pemerintah juga perlu menyediakan resi gudang kakao agar petani bisa menunda penjualan. Hal ini sedang dibahas secara komprehensif," ujar Direktur Pengolahan Hasil Pertanian Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Chaerul Rachman, baru-baru ini.

Dengan produksi kakao sebanyak 700 ribu ton per tahun, kini Indonesia menjadi penghasil kakao terbesar kedua di dunia setelah Afrika. Produksi kakao Afrika kini mencapai 2 juta ton per tahun, dan 95% di antaranya difermentasi. (ros)

Sumber : Investor Daily, Selasa 13 April 2010, Hal. 21




­