Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

7 Produk Manufaktur Waiib Verifikasi Impor

  • Rabu, 20 Januari 2010
  • 1508 kali
Oleh Andryanto Suwismo

JAKARTA - Pemerintah segera mewajibkan verifikasi impor untuk tujuh produk manufaktur, yakni kosmetik, keramik, baja, lampu hemat energi (LHE), telepon genggam (handphone), komponen otomotif, dan sepeda.

Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat menerangkan, aturan kewajiban verifikasi impor itu sedang dalam proses penyiapan. "Itu upaya nontarif yang bisa dilakukan pemerintah. Nanti akan diberlakukan," ucapnya di Jakarta, Selasa (19/1).

Menurut dia, kewajiban verifikasi impor itu akan melengkapi kebijakan pembatasan pelabuhan impor untuk produk tertentu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 56/ 2009 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu di Pelabuhan Tertentu. Impor lima produk manufaktur diatur dalam permendag tersebut, yakni garmen, alas kaki, elektronik, makanan minuman, dan mainan anak.

Selain mewajibkan verifikasi impor produk tertentu, lanjut dia, pemerintah akan menerapkan trade remedy berupa instrumen pengamanan perdagangan (safeguard) untuk garmen dan LHE, antidumping untuk baja canai panas (HRC) dan pelat baja (HRP), pengendalian impor untuk produk baja hilir, dan harmonisasi tarif bea masuk (BM) untuk paku. "Sebagian sudah berjalan, sisanya dalam proses," paparnya.

Hidayat menjelaskan, upaya memperkuat instrumen nontarif itu dilakukan seiring dengan renegosiasi implementasi perdagangan bebas Asean-Tiongkok (AC-FTA) untuk 228 pos tarif industri. "Upaya memperkuat instrumen nontarif guna meningkatkan daya saing industri nasional dalam menghadapi FTA dirumuskan dalam tim penyelesaian hambatan industri dan perdagangan," paparnya.

Dia menerangkan, tim tersebut beranggotakan wakil lintas departemen dan dunia usaha. "Fokus tim tersebut meliputi efektivitas pengamanan pasar dalam negeri dari penyelundupan serta pengawasan peredaran barang di pasar domestik," paparnya,

Perkuat   Renegosiasi
Hidayat menerangkan, selain instrumen nontarif, pemerintah masih mengupayakan adanya renegosiasi dalam pemberlakuan AC-FTA serta perdagangan bebas intra Asean (AFTA). "Berdasarkan masukan dunia usaha, 227 pos tarif industri dalam pemberlakuan CEPT-AFTA perlu dibicarakan ulang, karena berpotensi melemahkan industri nasional. Sedangkan untuk AC-FTA, 228 pos tarif perlu pembicaraan ulang," ujarnya.

Awal Januari 2010, lanjut dia, jumlah pos tarif yang menjadi nol persen dalam AC-FTA mencapai 1.597. Dengan demikian, sejak 2005-2010, total pos tarif yang menjadi nol persen mencapai 7.306. "AC-FTA akan terus berjalan meski Indonesia meminta adanya pembicaraan ulang," paparnya.

Wakil Ketua Umum Kadin bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan Rahmat Gobel sebelumnya menilai, pemerintah harus memperkuat upaya hambatan nontarif guna memperketat arus impor, "Yang harus dilakukan adalah menerapkan standardisasi kualitas, yakni melalui penerapan regulasi wajib SNI (Standar Nasional Indonesia).

SNI itu bukan untuk memproteksi dari barang impor, tetapi proteksi pasar dari aspek perlindungan terhadap keamanan, kesehatan, dan keselamatan konsumen," jelas Gobel.

Selain itu, kata dia, sejumlah tugas perlu diselesaikan pemerintah terkait ketersediaan infrastruktur. Pemerintah juga perlu segera memenuhi pengadaan laboratorium bersertifikat yang mampu mengatasi kebutuhan penerapan SNI di Indonesia.

Sumber : Investor Daily, Rabu 20 Januari 2010, Hal. 21



­