Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Omzet Keramik Turun Rp 3 Triliun

  • Selasa, 19 Januari 2010
  • 1409 kali
PGN ANCAM KENAKAN SURCHARGE

Oleh Harso Kurniawan

JAKARTA - Nilai produksi keramik nasional tahun ini diperkirakan merosot 20% menjadi Rp 13 triliun, dibanding realisasi 2009 sebesar Rp 15 triliun, menyusul defisit pasokan gas.

Total kebutuhan gas untuk sektor keramik tahun ini mencapai 33 juta kaki kubik, sedangkan kemampuan pasokan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) hanya 21 juta kaki kubik.

Kondisi ini akan menyulitkan produsen keramik untuk rnenggenjot produksi. Sebab, selama ini gas digunakan untuk dapur pembakaran.

Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Achmad Widjaya menerangkan, defisit pasokan gas akan memangkas tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang industri keramik, dari 85% pada 2009 menjadi 65% pada 2010. Total kapasitas terpasang industri gas nasional saat ini mencapai 330 juta meter persegi (m2).

"Kalau ini dibiarkan berlarut-larut, saya khawatir 30% karyawan dari total 385 ribu karyawan di sektor keramik akan kena PHK," katanya di Jakarta, Senin (18/1).

Defisit gas, ujar Achmad, diperparah dengan ancaman PGN yang akan mengenakan tambahan biaya (surcharge) dari harga gas jika alokasi gas melebihi 21 juta mmscd.
Saat ini produsen keramik membeli gas rata-rata US$ 5 per mmbtu.

Ini artinya, produsen keramik harus menebus harga gas US$ 7,5 mmbtu. Hal ini akan menambah beban produksi produsen. Namun, Achmad tidak keberatan surcharge dikenakan, jika alokasi melebihi 33 juta mmbtu.

"PGN kan perusahaan besar dengan laba di atas Rp 5 triliun. Kami hanya minta sedikit dari mereka. Setiap tahun kami sudah membeli gas mereka Rp 1,2 triliun. Kami hanya minta pasokan sesuai kebutuhan dan harga tidak naik," tegasnya.

Achmad melanjutkan, produsen keramik hingga kini juga masih dihantui kekurangan bahan baku berupa lempung. Soalnya adalah Permendag No. 03/M-Dag/Per/1/2007 tentang Verifikasi Teknis Ekspor Bahan Galian Golongan C selain Pasir, Tanah, dan Top Soil. "Dalam aturan ini, pemerintah mengizinkan ekspor kaolin dan tanah liat kaolin yang dikalsinasi maupun tidak (HS 25.07.00.00.00)," katanya.

Lempung-lempung ini, kata Achmad, diekspor ke India. Jika praktik ini dibiarkan berlarut-larut, Achamd khawatir industri keramik akan krisis bahan baku. Untuk itu, ia menegaskan, pemerintah perlu bersikap tegas menyetop kebijakan ini.

Dampak AC-FTA
Terkait liberalisasi perdagangan Asean-Tiongkok, Achmad menilai, sektor yang akan terkena dampak adalah keramik polesan. Sedangkan untuk sektor gelasur tidak.

Di sisi lain, Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) Aziz Pane menyatakan, pemerintah perlu menerapkan verifikasi impor terhadap ban Impor Tiongkok. Pemerintah tidak dapat hanya mengandalkan SK14/2008 yang menyatakan ban impor cukup menjalani satu kali tes.

"Seharusnya tes terus dilakukan. Karena, banyak produsen Tiongkok yang memanipulasi SNI (Standar Nasional Indonesia)," tegasnya.

Aziz menilai, industri ban domestik akan sulit bersaing bebas dengan Tiongkok. Sebab, produksi ban Tiongkok setahun dapat mencapai 350 juta unit dengan total 200 perusahaan. Sementara produksi ban mobil Indonesia hanya 39,5 juta unit pada 2009.

"Harga produk Tiongkok 40% lebih murah dibanding lokal. Saya khawatir konsumen akan tergerak membeli produk Tiongkok karena daya beli lemah. Kalau ini terjadi pasar ban kita bisa turun," jelasnya.

Sumber : Investor Daily, Selasa 19 Januari 2010, Hal. 23



­