Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Waspadai produk 'sampah' dari China'

  • Senin, 18 Januari 2010
  • 1548 kali
JAKARTA: Pasar bebas Asean-China (ACFTA) segera diimplementasikan tahun ini. Untuk mengetahui dampak implementasi ACFTA terhadap pasar Indonesia dalam perspektif konsumen, Bisnis mewawancarai Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Tulus Abadi. Berikut petikannya.

Menurut Anda, apa dampak ACFTA terhadap konsumen di Indonesia?

Dalam jangka pendek, ACFTA memang sangat menguntungkan konsumen, karena mendapatkan lebih banyak pilihan produk. Selain itu, dengan semakin banyaknya barang maka akan terjadi perang harga, yang memungkinkan konsumen mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah. Konsumen tampaknya bakal dimanjakan dengan adanya ACFTA ini.

Namun kenikmatan konsumen ini belum tentu berlanjut untuk jangka panjang. Pasalnya, dengan implementasi ACFTA peluang masuknya produk-produk 'sampah' asal China akan semakin terbuka lebar.

Yang saya maksud dengan produk 'sampah' adalah produk yang tidak memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan oleh Indonesia. Untuk produk barang misalnya, tidak memenuhi SNI (Standar Nasional Indonesia). Sedangkan untuk produk makanan dan minuman, tidak memiliki nomor registrasi dari Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan).

Yang dikhawatirkan, karena tidak memenuhi standar, produk 'sampah' ini masuk melalui jalur tidak resmi alias ilegal. Jika hal ini sampai terjadi, konsumen justru yang dirugikan. Oleh karena itu, produk 'sampah' dari China ini harus diwaspadai, dan bahkan harus dicegah agar tidak lolos masuk ke sini.

Bagaimana cara menghadang produk 'sampah' tersebut?

Harus ada proteksi barang. Artinya, setiap produk yang masuk harus diawasi secara ketat. Sistem pengawasan harus berjalan dengan benar. Peranan instansi terkait benar-benar diuji untuk urusan implementasi ACFTA ini. Kalau sistem pengawasan arus masuk barang tidak berjalan dengan baik, maka pasar Indonesia akan hancur-hancuran.

Sistem pangawasan lalu lintas barang ini hanya bisa berjalan efektif jika ada koordinasi yang baik antar instansi terkait, seperti Bea dan Cukai, Departemen Perdagangan, lembaga sertifikasi, dan lainnya.

Ini memang bukan pekerjaan mudah.

Produsen di Indonesia merasa terusik dengan ACFTA ini. Pendapat Anda?

Saya sangat menyayangkan mengapa para pengusaha baru teriak-teriak sekarang. Padahal rencana ACFTA ini sudah disepakati sejak 2001. Itu berarti masih ada waktu 9 tahun untuk mempersiapkan diri. Kalau mereka serius mempersiapkan diri sejak 2001, saya kira tidak akan teriak seperti sekarang ini.

Lagi pula, yang namanya produk China itu sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Jadi, seharusnya kita sudah bisa mengantisipasinya sejak dini.

Tapi memang seperti itulah mental para pengusaha kita yang terlena dengan pasar dalam negeri, dan tidak memperhatikan ancaman pasar bebas. Mereka takut produknya tersaingi barang impor. Sedangkan untuk mengekspor mereka tidak mampu, karena produknya tidak memiliki daya saing.

Apakah pemerintah juga salah dalam menyepakati implementasi ACFTA ini?

Ya, saya kira ini bukan saja kesalahan pengusaha, tapi juga pemerintah yang tidak mampu berdiplomasi menyangkut item apa saja yang masuk dalam daftar pasar bebas ACFTA. Jika saja waktu bisa dimundurkan kembali ke 2001, sebaiknya barang-barang yang termasuk produk strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak jangan dulu dimasukkan sebagai komoditas untuk ACFTA.

Pewawancara: Afriyanto
Sumber : Bisnis Indonesia, Senin 18 Januari 2010, Hal. i2



­