Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Mainan Impor Perlu SNI Wajib

  • Jumat, 20 Mei 2011
  • 1355 kali
Kliping Berita

JAKARTA--MICOM: Jumlah impor mainan anak pada empat bulan pertama 2011 menunjukkan angka yang melonjak tinggi jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Menurut Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (Apmeti), 80%-nya merupakan impor mainan asal China karena kemudahan ekspor pasar bebas ASEAN-China (ACFTA).
Gabungan pengusaha mainan tersebut meminta pemerintah mengatasinya dengan memberlakukan Standard Nasional Indonesia (SNI) wajib.

Ketua Umum Apmeti Dhanang Sasongko menjelaskan, cara mengatasi impor mainan anak asal China adalah dengan memberlakukan SNI wajib. Sebab, mainan asal China tidak seluruhnya memenuhi SNI.

"Kalau SNI bisa diterapkan secara ketat, produk yang masuk ke domestik harus berstandar. Tapi, itu masih harus disertai dukungan pemerintah, sosialisasi, juga ke pengusahanya pemberian mesin, mempermudah bahan baku, serta memperlancar akses pembiayaan," kata Dhanang ketika dihubungi kemarin.

Sejak 2004, SNI mainan anak-anak masih mengacu pada SNI sukarela. Tahun lalu, ada wacana untuk produk mainan anak, akan diberlakukan SNI wajib mulai Mei 2011. Namun, hingga kini, aturan baru tersebut belum muncul.

Laporan surveyor di pelabuhan memperlihatkan angka impor mainan anak naik 61,5% pada Januari-April 2011 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Nilai impor tersebut naik menjadi US$23,20 juta sedang tahun lalu hanya US$14,39 juta. Dhanang mengatakan, 80% produk berasal dari China, sisanya dari Taiwan, Vietnam, dan Eropa. Produk mainan impor tersebut membanjiri Pasar Pagi Mangga Dua dan Pasar Prumpung.

Mainan yang berasal dari China merupakan jenis mainan plastik tokoh kartun dan tokoh pahlawan. Sementara menurut Dhanang, produk yang dihasilkan anggota Apmeti masih kalah secara teknologi dengan produk tersebut.

"Bahan baku produk China itu plastik yang membutuhkan teknologi tinggi. Proses produksi mereka lebih cepat. Sementara kita, kebanyakan adalah produk handmade yang terbuat dari kayu," ujarnya.

Mainan kita pun, lanjut Dhanang, masih kesulitan menembus standar pasar ekspor, terutama Eropa. Ekspor kecil-kecilan baru dilakukan ke Singapura dengan jumlah 5.000-8.000 mainan, harga satuannya US$5-10 per unit.

ACFTA dianggap punya andil besar dalam impor tersebut. "Bea masuk semuanya jadi 0%. Kita tidak siap. Sementara negara lain sudah mempersiapkan diri sejak 10 tahun lalu. Sejak ACFTA, semua produk semakin bebas masuk tidak ada penyaringnya. Apalagi China punya banyak distributor di sini," papar Dhanang.

Ditemui terpisah, Menteri Perindustrian MS Hidayat ketika diminta berkomentar justru mengatakan, ada semacam keengganan produsen lokal mengatakan produknya asli Indonesia. Ia menemukan dugaan adanya pabrik mainan anak yang memproduksi mainan dengan label Made in China.

"Ada suatu fenomena di mana ada pabrik besar bikin mainan di Indonesia, tapi tulisannya Made in China. Dijual di Indonesia. Ini suatu sinyal. Tapi ini masih dugaan, saya mau cek. Teman-teman harus ikut," ujar Hidayat. (*/OL-9)

Sumber : Media Indonesia, Jumat 20 Mei 2011. Hal 14




­