Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

ACFTA dan Daya Saing Produk Pertanian

  • Selasa, 10 Mei 2011
  • 2583 kali
Kliping Berita

Oleh Sucipto

Seiring berlakunya Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) sejak awal 2010 lalu, impor buah semakin pesat. Buah-buahan impor merajai pasaran buah nasional. Bukan hanya di pasar swalayan, tapi juga di tepi jalan. Tren peningkatan ini perlu diwaspadai.

Sepanjang Januari sampai Maret 2011, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor jeruk mandarin meningkat 25,32% dari US$ 68,103 juta pada 2010 menjadi US$ 85,352 juta pada 2011. Peningkatan lebih spektakuler sebesar 168,56% terjadi pada buah pir dari US$ 11,317 juta pada 2010 menjadi US$ 30,312 juta.

Dominasi jeruk mandarin, pir, dan apel impor semakin terasa. Produk buah nasional semakin tergusur oleh kehadiran buah-buahan impor tersebut. Padahal, kita punya jeruk Medan dan Pontianak, manggis, salak, rambutan, dan buah nasional lain yang keadaannya jauh lebih segar ketimbang buah-buahan impor. Adakah kebijakan yang perlu ditinjau ulang?

Rendahnya Bea Masuk

Ada sejumlah kondisi yang menstimulus peningkatan impor buah tersebut. Pertama, rendahnya bea masuk (BM), yang ditetapkan berdasarkan skema Most Favored Nation (MFN), sebagai wujud kerja sama multilateral dalam World Trade Organization (WTO). BM apel 5%, misalnya, berlaku jauh sebelum dimulai ACFTA. Hal ini menurunkan daya saing apel Malang beberapa tahun terakhir.

Kedua, longgarnya aturan impor. Standar mutu yang ketat belum diberlakukan. Produk impor membahayakan konsumen pun lolos. Riset Setyabudi, dkk (2008) menunjukkan kontaminasi formalin dan pestisida pada buah impor di pasar tradisional dan swalayan. Formalin berkadar 0,10- 122,11 ppm ada pada apel, durian, pir, dan lengkeng. Pestisida jenis klorpirifos ditemukan pada jeruk lokan dan mandarin marcot dari toko buah. Karena itu, standar mutu buah impor perlu diperketat.

Ketiga, dibukanya banyak pelabuhan ekspor-impor pangan yang memudahkan tersebarnya buah impor ke berbagai wilayah Indonesia. Karena Itu , perlu penataan ulang fungsi pelabuhan. Ini akan memudahkan pengawasan impor ilegal dan melindungi produk domestik.

Keempat, lemahnya sistem logistik dan infrastruktur di Indonesia. Akibatnya, biaya kirim buah ke Jakarta dari Tiongkok lebih murah disbanding dari Pontianak. Di tingkat konsumen, harga buah nasional lebih mahal dari buah impor. Jeruk mandarin dijual Rp 17.000 per kg, sedang jeruk pontianak dan jeruk medan masih Rp 20.000 per kg. Sungguh ironis.

Kelima, penanganan pascapanen buah tropis yang musiman tidak memadai. Gudang penyimpanan buah tropis merupakan fasilitas langka. Stok, mutu, dan harganya berfluktuasi sepanjang tahun. Secara pragmatis, pedagang, dan konsumen tak dapat disalahkan memilih buah impor.

Keenam, pengelolaan buah yang banyak dikonsumsi rakyat dan buah unggulan ekspor belum sebanding dan optimal. Buah belum menjadi tanaman utama petani yang berlahan terbatas. Pedagang dan eksportir enggan berinvestasi jangka panjang di budidaya buah. Kondisi ini semakin memperkecil stok buah nasional.

Penguatan Daya Saing

Untuk menangkal gempuran buah impor, pemerintah harus mengetatkan kriteria impor. Selain itu, Standar Nasional Indonesia (SNI) buah perlu segera diterapkan. Percepatan SNI wajib pertanian telah lama diwacanakan. Kementerian Pertanian mengeluarkan Keputusan Menteri No 170/KPTS/OT.210/3/2002 tentang pelaksanaan standardisasi nasional di bidang pertanian, termasuk produk segar, olahan, dan bibit.

Faktanya, hingga sekarang hal itu tetap menjadi wacana. Data Badan Standardisasi Nasional (BSN) pada Oktober 2010 menunjukkan total SNI bidang pertanian dan teknologi pangan 1297 (19%) dari total SNI. Aset ini belum diberdayakan, karena banyak bersifat sukarela.

Karena itu, pemberlakuan SNI buah perlu konsistensi dan fasilitasi pemerintah untuk mendampingi petani dan pelaku usaha buah nasional.  Dalam rangka mengembangan daya saing buah nasional, maka beberapa faktor harus menjadi perhatian.

Pertama, pemetaan ulang buah yang banyak dikonsumsi rakyat dan buah unggulan ekspor. Hal ini penting agar rakyat dapat menikmati buah kesukaan dengan harga terjangkau. Penguatan riset, pilihan lahan sesuai agroklimatologi, teknik budidaya pertanian yang baik, penanganan pascapanen buah rakyat harus menjadi perhatian karena hal itu akan mendukung ketahanan pangan nasional.

Kedua, penanganan pascapanen merupakan faktor kunci agar stok buah terjaga sepanjang tahun dengan harga relatif stabil. Pengembangan produksi bubur buah (jam) beku dapat mensubstitusi impor untuk industri olahan, seperti sari buah dalam kemasan.

Ketiga, pembangunan infrastruktur pertanian dan jalan dari sentra buah di desa ke pasar menjadi prasyarat wajib. Sayangnya, infrastruktur pertanian kurang diprioritaskan. Proyek infrastruktur banyak digelontorkan ke kota dan industri nonpertanian.

Keempat, untuk mempertahankan stok dan kontinuitas buah nasional kita tak dapat mengandalkan petani berlahan sempit. Pengusaha besar perlu distimulus berinvestasi di sektor budidaya dengan melakukan sinergi yang harmonis dengan petani.

Kelima, pemberdayaan kelembagaan petani. Pemberdayaan ini tidak hanya terkait modal dan teknologi budidaya, namun juga informasi pasar. Integrasi vertikal kemitraan bisnis pengusaha besar dengan petani, termasuk pedagang input, pengepul, dan eksportir mutlak dijalin. Efisiensi sumber daya akan meningkat. Integrasi horizontal antarpetani buah mutlak digalang agar kuat daya tawarnya di hadapan pelaku usaha lain.

Dengan acuan di atas, kita berharap impor buah akan menurun. Fluktuasi stok, mutu, dan harga buah nasional berkurang. Buah tropis akan menjadi tuan di negeri sendiri. Daya saingnya di pasar ekspor akan meningkat. Petani buah pun turut menikmatinya. Semoga!

Penulis adalah dosen dan peneliti Teknologi Industri Pertanian (TIP) Universitas Brawijaya, kandidat doktor TIP IPB

Sumber : Investor.co.id, Selasa 10 Mei 2011.
Link : http://www.investor.co.id/home/acfta-dan-daya-saing-produk-pertanian/11570




­