Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Sertifikasi Halal Tidak Efektif sebagai Hambatan Nontarif

  • Selasa, 16 Februari 2010
  • 1822 kali

Kliping Berita

Oleh Damiana N Simanjuntak
JAKARTA - Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menilai, kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman (mamin) olahan impor tidak tepat diterapkan. Pasalnya, langkah itu tidak dapat diberlakukan secara sepihak hanya untuk produk mamin impor.

"Mewajibkan sertifikasi halal harus ekual antara produk impor dan lokal, Selain itu, menerapkan suatu aturan harus berdasarkan efektif tidaknya peraturan itu. Sertifikasi halal tidak efektif dijadikan sebagai non tariff barrier (hambatan nontarif). Saat ini saja, kami masih memperjuangkan agar sertifikasi halal itu bersifat sukarela, tidak kewajiban," ujar Ketua Bidang Regulasi Gapmmi Franky Sibarani di Jakarta, Senin (15/2).

Hal serupa, lanjut Franky, berlaku pada upaya pemerintah mempercepat penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib. "Pemberlakuan SNI wajib tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Kalau misalnya diupayakan mempercepat SNI wajib untuk beberapa produk tertentu, itu baik. Tapi, jangan sampai justru menimbulkan rnasalah," paparnya.

Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar menyampaikan hal senada. Dia menuturkan, pemberlakuan semua sertifikasi standar produk harus diterapkan menyeluruh untuk produk impor maupun lokal. "Pemberlakuan sertifikasi halal tidak boleh diskriminatif. Memang hal itu diperlukan untuk menjamin mutu produk yang sampai ke konsumen. Khusus untuk kehalalan produk pangan, penerapannya bergantung kepada lembaga sertifikasinya. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan sertifikasi merupakan wewenang lembaga yang melakukan standardisasi tersebut. Misalnya, untuk standar kesehatan produk pangan, dipegang BPOM. Termasuk penegakan hukumnya," papar Mahendra.

Izin Edar
Franky menambahkan, langkah efektif untuk mengatur arus masuk produk mamin olahan impor adalah dengan mekanisme wajib izin eclar. Mekanisme itu telah diterapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalul sistem pendaftaran pengajuan registrasi untuk produk mamin olahan impor dan lokal. Untuk izin edar produk lokal, BPOM memberikan identitas MD (makanan dalam negeri), sedang-kan untuk produk impor dengan kode ML (makanan luar).

"Mekanisme MD dan ML itu sudah efektif, karena itu mengatur izin edar. Kalau sertifikasi halal, harus diberlakukan ekual antara impor dan lokal. Di satu sisi, sertifikasi halal sebaiknya bersifat sukarela," tutur Franky.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian MS Hidayat berencana menerapkan sebanyak mungkin safeguard untuk barang impor yang masuk ke pasar Indonesia. Selain penerapan SNI wajib, Kementerian Perindustrian mengkaji usulan mewajibkan sertifikasi halal bagi mamin impor. Menurut Hidayat, langkah itu perlu ditempuh, karena proses penerapan instrumen safeguard dan SNI wajib membutuhkan waktu lama. Pasalnya, proses itu harus dinotifikasi terlebih dahulu kepada Organisasi Perda-gangan Dunia (WTO). "Kajian penerapan sertifikasi halal ini akan dituntaskan dalam waktu singkat," kata Hidayat.
Di sisi lain, Franky mengatakan, semua pihak perlu optimistis menghadapi persaingan pasar bebas, seperti kesepakatan kawasan perdagangan bebas Asean-Tiongkok (AC-FTA). Pasalnya, kata dia, AC-FTA membuka peluang bagi setiap produk
yang masuk Indonesia lebih terjamin.

"AC-FTA ini harus dipandang dari dua sisi, positif dan negatif. Dengan implementasi zero tariff (AC-FTA) setidaknya semua produk yang masuk harus teregistrasi dan legal, sehingga negara memperoleh PPN. Selain itu, jika industri terus khawatir dan pesimis dengan AC-FTA, industri perbankan akan berpendapat yang sama. Industri perbankan melihat industri yang pesimis berarti tidak siap menghadapi AC-FTA. Sehingga, perbankan justru menahan diri untuk mengucurkan kredit," papar dia.

Dia mencontohkan industri mamin olahan yang hingga saat ini relatif mudah dan lancar memperoleh kredit. Dampaknya, industri mamin nasional tetap ekspansif.

"Itu karena industri mamin melihat sisi positif AC-FTA. Misalnya, pasar biskuit di Tiongkok mencapai Rp 80 triliun, sedangkan Indonesia Rp 4 triliun. Bisa dibayangkan, dengan dukungan perbankan dan inovasi teknologi, industri biskuit dalam negeri bisa meraup pasar biskuit di Tiongkok," paparaya.

Sumber : Investor Daily, Selasa 16 Februari 2010, Hal. 23




­