Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Dilema notifikasi wajib biji kakao

  • Senin, 15 Februari 2010
  • 1586 kali

Kliping Berita

Kementerian Perdagangan sedang berupaya menotifikasikan standar nasional Indonesia (SNI) wajib biji kakao ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization).

Kebijakan ini menuai penilaian dari dua sisi. Eksportir biji kakao keberatan dengan kebijakan tersebut dan sebaliknya, pelaku industri komoditas itu domestik yang sangat mendorong proses notifikasi tersebut.

Dua pihak tersebut memiliki alasan masing-masing dalam menyikapi rencana notifikasi standar biji kakao ke WTO.

Eksportir yang tergabung dalam Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) beralasan dengan diberlakukannya wajib standar terahadap komoditas itu akan banyak biji kakao yang tidak memenuhi standar. Akibatnya, volume ekspor turun.

Adapun dari sisi industri pengolahan kakao, dengan diberlakukannya standar yang bersifat wajib akan membuat pasokan biji kakao ke dalam industri domestik menjadi lebih berkualitas. Industri pengolahan mengharapkan pasokan biji kakao yang telah difermentasi, sehingga tidak perlu lagi mendatangkan dari Ghana atau Pantai Gading.

Kendati sebagai produsen terbesar ketiga di dunia, Indonesia masih mengimpor biji kakao yang telah difermentasi mengingat tidak dapat dihasilkan di dalam negeri.

Ekspor kakao/cokelat Indonesia (2004-2009)
Tahun Nilai (US$ juta)
2004 549,3
2005 668,0
2006 855,0
2007 924,2
2008 1.268,9
2009* 1.230,5
Sumber: BPS, diolah Kemendag.
Ket. * S/d November


Perkiraan ekspor kakao dunia 2010 (ribu ton)
Negara Jumlah
Pantai Gading 1.540
Ghana 469 Indonesia 520
Nigeria 202
Kamerun 97
Ekuador 43
Brasil 23
Negara Amerika Latin lainnya & Karibia 64
Malaysia 28
Sumber: FAO

Selain rencana SNI wajib biji kakao kemungkinan akan berlaku mulai Oktober 2010 setelah dinotifikasikan ke WTO, pemerintah juga akan menerapkan standar wajib untuk bubuk komoditas itu mulai 4 Mei mendatang.

Namun, berbeda dengan rencana notifikasi biji, penerapan SNI wajib bubuk kakao cenderung diterima semua pihak. Bahkan, eksportir biji kakao pun menerima rencana penerapan standar bubuk kakao tersebut.

Dalam SNI tersebut menetapkan klasifikasi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji, syarat penandaan, pengemasan, dan rekomendasi untuk produk biji kakao.

Sekjen Askindo Zulhefi Sikumbang menuturkan mutu kakao produk petani cukup rendah, sehingga apabila diterapkan SNI wajib, akan mengakibatkan 30% kakao produksi petani yang harus dibuang karena tidak memenuhi standar.

Dia menambahkan kakao merupakan produk yang mutunya tidak stabil dan tidak dapat distandarkan sesuai dengan produksi pabrik. Menurut Zulhefi, hanya Indonesia yang berniat menotifikasi mutu, sedangkan negara produsen kakao lainnya tidak mau memberlakukan ketentuan tersebut.

Kalau standar tersebut diberlakukan, standar mutu akan berlaku di semua mata rantai perdagangan mulai dari petani, pedagang pengumpul kecil dan besar, ekspor dan pabrik. Hal ini menyebabkan banyak produk yang terbuang yang seharusnya masih dapat diperdagangkan.

Bersifat wajib

Menurut dia, standar biji kakao akan bersifat wajib. Saat ini, katanya, Departemen Pertanian berencana menotifikasikan, bahkan kemungkinan telah mendaftarkan ke WTO. "Mungkin mereka telah mendaftarkan [notifikasi], tetapi saya tidak tahu, karena mereka (Deptan) tertutup saat ini. Kami telah membuat surat untuk menolak notifikasi."

Zulhefi meminta agar standar tersebut tetap diberlakukan secara sukarela seperti saat ini. Adapun, setelah dinotifikasi, maka akan menjadi wajib yang harus dipenuhi standar-standar tersebut oleh eksportir.

Pemberlakuan SNI secara wajib terhadap biji kakao dinilai tidak akan menyebabkan penurunan volume ekspor seperti yang dikhawatirkan eksportir.

Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya mengatakan negara importir tidak mungkin menyetop pembelian kakao asal Indonesia, karena harus tetap membeli bahan baku tersebut.

"Importir terbesar biji kakao asal Indonesia selama ini Malaysia dan Singapura. Jadi, tidak mungkin kedua negara tersebut menyetop operasi pabrik dengan mengurangi pembelian kakao asal Indonesia," ujarnya kepada Bisnis baru-baru ini.

Menurut dia, melalui pemberlakuan standar tersebut akan mendorong petani memproduksi kakao yang berkualitas. Selama ini, katanya, kakao asal Indonesia hanya dijadikan campuran oleh para importir dengan kakao yang diimpor dari negara lain yang lebih berkualitas.

Sindra menambahkan jika SNI wajib biji kakao tersebut diberlakukan, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor biji kakao yang telah difermentasi dari Ghana dan Pantai Gading.

Negara produsen biji kakao lainnya, menurutnya, dapat memberlakukan standar dengan memproduksi kakao yang difermentasi. Indonesia memproduksi kakao mencapai 500.000 ton pada tahun lalu dengan perincian diekspor 350.000 ton dan untuk kebutuhan lokal 150.000 ton.

Askindo telah melayangkan surat kepada Menteri Pertanian agar tidak menotifikasi SNI biji kakao ke WTO.

Dalam surat yang dikirimkan kepada Mentan pada 20 Januari lalu tersebut menjelaskan pandangan Askindo terhadap rencana tersebut.

Rugikan Indonesia

Asosiasi tersebut menilai pemberlakuan SNI wajib akan merugikan Indonesia sebagai produsen kakao, karena kualitas kakao domestik bergantung pada cuaca dan organisme pengganggu tanaman.

Hal itu akan menyebabkan kualitas tidak dapat dikontrol untuk memenuhi ketentuan dalam standar nasional yang saat ini dirumuskan di Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan masih menunggu Peraturan Menteri Pertanian.

Pemerintah menyatakan akan tetap memberlakukan standar wajib terhadap biji kakao dan bubuk kakao. Standar terhadap bubuk kakao bertujuan melindungi konsumen dari produk impor yang seringkali tidak berkualitas bahkan membahayakan konsumen.

Adapun, pemberlakuan standar wajib terhadap biji kakao diharapkan mampu meningkatkan mutu di pasar dunia serta mengurangi impor biji kakao yang telah difermentasi mengingat selama ini masih diimpor.

Tentu semua berharap kakao bubuk yang beredar di pasar domestik sesuai dengan standar dan biji kakao yang diekspor menjadi lebih baik setelah melalui proses fermentasi. (sepudin.zuhri@bisnis.co.id)

Oleh Sepudin Zuhri
Wartawan Bisnis Indonesia

Sumber : Bisnis Indonesia, Senin 15 Februari 2010, Hal. m2




­