Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Tempe: Makanan Sehat Indonesia untuk Dunia

  • Senin, 24 September 2018
  • 12344 kali

Anda  pasti sudah tidak asing lagi dengan tempe. Bahan makanan ini mudah ditemui dimana-mana dan harganya relatif murah. Tempe juga banyak diolah menjadi kudapan seperti keripik, mendoan, steak, dan lain-lain. Apalagi bagi para vegetarian, tempe bisa menjadi sumber protein nabati sebagai pengganti protein daging.

Nah, ternyata tempe memang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Menurut Direktur Rumah Tempe Indonesia Dadi Hidayat Maskar, nilai gizi tempe tidak kalah dengan pangan hewani, bahkan dalam beberapa aspek nilai gizi tempe lebih baik dibandingkan pangan hewani. Jika dibandingkan, kandungan gizi tempe dan pangan hewani per 100 gram, tempe memiliki kadar karbohidrat, serat, kalsium, fosfor, zat besi dan magnesium yang lebih tinggi dari daging sapi, ayam dan telur.

“Dengan harga tempe yang lebih murah, kita dapat memperoleh kandungan gizi yang tidak kalah dengan pangan hewani,” kata Dadi dalam Focus Group Discussion (FGD) "Mikrobiologi dan Bioteknologi Tempe: Makanan Sehat Indonesia untuk Dunia" yang diadakan pada Kamis, 20 September 2018 di Unika Atma Jaya, Kampus BSD, Tangerang.

Senada dengan Dadi, Dekan Fakultas Teknobiologi Unika Atma Jaya Antonius Suwanto, menjelaskan, menurut penelitian, tempe memiliki milyaran bakteri yang bisa berfungsi sebagai prebiotic dan  parabiotic dalam sistem pencernaan kita. Apabila kita mengonsumsi tempe, bakteri tersebut akan bekerja dalam tubuh manusia, menangkal bakteri jahat. Pada akhirnya, tubuh menjadi sehat, yang juga berdampak pada kesehatan jiwa.

Namun permasalahan yang ditemui di lapangan, tempe masih diproduksi dengan cara-cara yang tidak higienis. Hal ini disebabkan karena para perajin tempe masih membuat secara manual dan tradisional. Mereka tidak pernah mengikuti pelatihan atau pendidikan secara khusus.

Padahal sekarang telah ada standar tempe, yakni Standar Nasional Indonesia (SNI) 3144:2015 Tempe Kedelai. Menurut Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya, standar ini menetapkan istilah dan definisi, komposisi, syarat mutu, pengambilan contoh, dan cara uji tempe kedelai segar dan/atau tempe kedelai beku. “SNI Tempe juga telah diakui dunia, yang diadopsi menjadi standar regional oleh Codex,” ungkap Bambang, yang juga menjadi narasumber dalam FGD tersebut.

Dalam SNI tersebut, definisi tempe yaitu produk berbentuk padatan kompak berwarna putih, yang diperoleh dari kedelai kupas yang sudah direbus dan difermentasi menggunakan kapang Rhizopus spp. SNI ini juga mengatur persyaratan mutu tempe, mulai dari tektur, warna, bau, kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar, cemaran logam, cemaran arsen, dan cemara mikroba.

Jika para perajin sudah memproduksi tempe sesuai SNI, tentu harus dibuktikan dengan proses penilaian kesesuaian. Hingga saat ini, infrastruktur pendukung penerapan SNI Tempe meliputi Laboratorium Pengujian terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) seperti Balai Besar Industri Agro, MBRIO Food Laboratory, BBPOM Banjarmasin, BBPOM Jayapura, Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, dan UPT Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Tangerang. Adapun untuk Lembaga Sertifikasi Produk seperti Balai Besar Industri Agro.

BSN, lanjut Bambang juga sedang membina beberapa usaha UMKM Tempe, yakni Rumah Tempe Indonesia (Bogor), UD. Pendekar Tempe Sakti (Surabaya), serta Tempe Zahra (Batam). Ketiga UMKM ini sedang dalam proses sertifikasi produk bertanda SNI.

Masih banyak tantangan dan peluang untuk memajukan industri tempe di Indonesia agar mendunia. Langkah-langkah yang bisa kita tempuh antara lain mendukung UMKM dalam menerapkan SNI tempe, yang juga mencakup good manufacturing practice; meningkatkan daya saing produk tempe Indonesia dalam perdagangan internasional; mempromosikan tempe sebagai salah satu makanan asli dari Indonesia ke dunia internasional; serta mendorong diversifikasi produk tempe oleh produsen.

Sedangkan terkait standardisasi, kita harus selalu mengupdate standar tempe di level nasional, regional dan internasional. Selain itu, terus mengembangkan standar dan penilaian kesesuaian yang memiliki national differences untuk memperkuat produk dalam negeri dan membendung serbuan produk dari luar negeri (sebagai technical barrier).(ria-humas)




­