Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Indonesia Mesti Pacu Daya Saing Agar Tak Tertinggal

  • Selasa, 18 Oktober 2011
  • 904 kali
Kliping Berita

Hanya dengan kejujuran dan ketulusan kolektif, bangsa ini bisa terlepas dari derita nestapa berkelanjutan.

JAKARTA - Indonesia mesti meningkatkan daya saing agar tidak terpinggirkan dan tertinggal dari negara anggota G20 yang kini berupaya memperbaiki perekonomian untuk bisa lolos dari ancaman krisis utang global. Implikasi dari negara tertinggal terutama adalah terjadinya kemiskinan satu generasi, instabilitas politik, dan menjadi negara gagal.

"Jika daya saing hanya mengandalkan sumber daya alam, tidak mustahil Indonesia akan menjadi negara tertinggal. Implikasinya, terjadi kemiskinan dalam satu generasi, ketidakstabilan politik, dan menjadi negara gagal," kata Direktur Institute for Global Justice Salamuddin Daeng, di Jakarta, Senin (17/10).

Menurut Daeng, indikasi Indonesia akan tertinggal dari negara G20 bisa dilihat dari semakin banyaknya warga negara Indonesia yang menjadi miskin lantaran kehilangan mata pencarian. Jumlah orang miskin Indonesia, menurut versi Bank Dunia, mencapai 117 juta jiwa atau hampir separo dari total populasi.

Selain itu, Indonesia sudah tergolong sebagai importir besar pangan dunia karena sedikitnya terdapat 28 komoditas pangan yang diimpor dengan nilai 5,36 miliar dollar AS. Padahal, semua komoditas pangan tersebut dapat dikembangkan di Indonesia secara mandiri. Lebih dari itu, keuangan negara Indonesia tersandera utang yang cicilan dan bunganya, sampai Juli 2011, mencapai 1.700 triliun rupiah.

"Kita tidak lagi menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena semua potensi ekonomi menjadi milik pihak lain," kata Daeng. Salah satu contoh negara gagal adalah Somalia yang kini tengah terperosok ke jurang kemiskinan.

Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI), Aris Yunanto, mengatakan tingkat persaingan antarnegara G20 semakin ketat. Karena itu, pemerintah Indonesia harus memiliki konsep yang jelas dalam meningkatkan daya saing.

Selain mewujudkan kemandirian pangan, kebijakan pembangunan industri harus memiliki perspektif daya saing yang tinggi dan bernilai tambah. Artinya, industri manufaktur tidak hanya fokus potensi yang ada, tetapi juga berdasarkan kemampuan dan keterampilan serta profesionalisme sumber daya manusia.

"Industri ini, selain menjadi motor penggerak utama perekonomian nasional, akan menjadi tulang punggung ketahanan perekonomian nasional," kata Aris (Koran-Jakarta, 17/10).

Indonesia juga tidak bisa selalu mengandalkan eksplorasi sumber daya alam primer sebagai pendapatan negara karena sumber daya alam jumlahnya terbatas dan perbaikannya membutuhkan waktu lama.

Menyinggung soal kegagalan negara, Daeng menambahkan kegagalan tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga pendidikan. Pemerintah tidak berhasil menjalankan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas. Selain itu, pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan sehingga kemiskinan diatasi dengan program parsial seperti bantuan beras miskin.

"Usia negara kita masih lebih pendek dibandingkan negara Hindia Belanda yang menyempatkan membuat politik etis dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga pribumi yang terdidik meski akhirnya mereka dipekerjakan di perkebunan dan administratur pemerintah Hindia Belanda," jelas Daeng.

Kejujuran Kolektif

Senada dengan Daeng, pengamat ekonomi, Hendrawan Supratikno, mengatakan potensi Indonesia menjadi negara gagal bisa berasal dari aspek non-ekonomi seperti kebangkrutan moral, kekacauan hukum, dogmatisme keyakinan, dan budaya koruptif. Dari segi ekonomi, kata dia, ekonomi Indonesia cukup tangguh karena pasar dalam negeri besar serta memiliki kekayaan tambang, laut, dan kehutanan.

"Hanya dengan kejujuran dan ketulusan kolektif, bangsa ini bisa terlepas dari derita nestapa berkelanjutan," imbuh dia, General Coordinator La Via Campesina Hendry Saragih melihat pengelola negara memiliki andil besar pada kegagalan negara. "Pemerintahan gagal mengemban misi sesuai amanat konstitusi, dan ini terjadi di seluruh dunia. Kesenjangan kehidupan ekonomi terjadi akibat kapitalisme neoliberal," ungkap dia.

Menurut Hendry, pada 15 Oktober lalu, sekitar 200 ribu orang berunjuk rasa di Roma, Italia, karena pengangguran meningkat, kesenjangan ekonomi melebar, dan kebijakan politik sudah dikontrol total oleh korporasi. "Apa yang terjadi di AS, Eropa, juga terjadi di Indonesia, Filipina, dan Thailand," papar dia.

Sumber : Koran Jakarta, Selasa 18 Oktober 2011, Hal. 1




­