Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Ekspor Kakao Olahan Melesat

  • Senin, 17 Oktober 2011
  • 1072 kali
Kliping Berita

Bea keluar biji kakao menghidupkan kembali industri pengolahan kakao nasional

- Implementasi bea keluar biji kakao dinilai mampu menghidupkan kembali industri pengolahan kakao nasional. Nyatanya, 5 pabrik kakao yang mati suri sudah mulai berproduksi kembali dan 2 pabrik lagi diharapkan mulai beroperasi tahun depan. Ini memberikan harapan positif karena data di Kementerian Perindustrian menunjukkan ekspor kakao olahan melesat tajam.

Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Sindra Wijaya mengatakan,  konsumsi biji kakao oleh industri dalam negeri meningkat menjadi 180.000 ton pada 2010 dari 125.000 ton pada 2009. Tahun ini, industri kakao dalam negeri diprediksi akan mampu menyerap 280.000 ton biji kakao.

Dari peningkatan penyerapan industri domestik tersebut, Sindra mengharapkan cocoa powder, cocoa butter dan cocoa cake Indonesia bisa mencapai 200.000 ton pada 2012.

Data Kementerian Perindustrian menyatakan, bahwa ekspor kakao olahan Indonesia meningkat dari Rp 1,2 triliun pada Januari–Mei 2010 menjadi Rp 2 triliun pada tahun ini. Ekspor cokelat untuk periode yang sama naik dari Rp 106 miliar dari tahun lalu menjadi Rp 139 miliar pada 2011. Di sisi lain, ekspor biji kako turun dari Rp 4 triliun pada 3 bulan pertama 2010 menjadi Rp 2,5 triliun pada 2011.

Sindra menambahkan, bea keluar juga meningkatkan harga jual biji kakao Indonesia di pasar luar negeri karena berhasil menurunkan potongan harga yang diberikan pada biji kakao non fermentasi. “Produk biji kakao kita belum difermentasi hingga di terminal harganya didiskon. Setelah BK, diskon turun dari Rp 4,4 juta per ton menjadi Rp 1,7 juta per ton,” katanya, kemarin.

Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Benny Wahyudi mengatakan, bahwa 5 pabrik bubuk kakao di Makasar dan Tangerang kembali beroperasi karena penerapan BK biji kakao. Pembukaan kembali pabrik milik PT Effem Indonesia, PT Makmur Hasta, PT Unico Kakao Makmur Sulawesi, PT Davomas Abadi dan PT Maju Bersama Cocoa Industries, diperkirakan menyerap sekitar 1.100 tenaga kerja dan mampu memproduksi hingga 202.000 ton kakao olahan per tahun.
Adapun 3 perusahaan lain yang belum beroperasi kembali, menurut Benny, masih menghadapi berbagai kendala setelah 3 tahun tidak beraktivitas.

Sindra memperkirakan 2 dari 3 perusahaan tersebut akan kembali beroperasi tahun depan setelah memastikan pasokan bahan baku, tujuan pemasaran, pasokan listrik serta perbaikan mesin dan peralatan. Satu pabrik lain, jelasnya, memang sudah lama tidak beraktivitas akibat permasalahan internal perusahaan.

Untuk mendorong daya saing industri kakao dalam negeri, Sindra menyarankan pemerintah segera menerapkan standar nasional (SNI) untuk biji kakao agar kualitas bahan baku industri kakao olahan membaik. “Kakao yang belum difermentasi memberikan aroma tidak sedap. Jika bubuk kakao bisa dapat SNI, harusnya biji kakao juga bisa agar petani terdorong melakukan fermentasi,” katanya.

Dia mengatakan, penerapan tata niaga biji kakao merupakan cara lebih baik dalam mendorong hilirisasi industri kakao dari pada penerapan BK bagi produk olahan biji kakao seperti yang telah dipraktikkan untuk produk setengah jadi industri kelapa sawit. “Kalau produk olahan diberi BK juga, hampir tidak bisa bersaing karena negara tujuan ekspor masih menerapkan bea masuk tinggi untuk Indonesia,” ucap Sindra.

India menerapkan bea masuk kakao olahan untuk produk Indonesia sebesar 30%. Adapun Eropa menetapkan bea masuk 7%-9% untuk kakao olahan dari Tanah Air, sebaliknya memberikan bea masuk 0% untuk produk sejenis dari Afrika. bio

Sumber : SurabayaPost.co.id, Senin 17 Oktober 2011
Link: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=5eff6b84b548df4826a0aad88daab9c1&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5




­