Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

20 Pabrik Baja Tiongkok Relokasi US$ 100 Juta

  • Kamis, 01 Januari 1970
  • 4154 kali
JAKARTA—Sebanyak 20 pabrik baja berskala kecil asal Tiongkok merelokasi fasilitas produksi ke Indonesia menyusul kebijakan Negeri Tirai Bambu yang memperketat aturan lingkungan. Relokasi pabrik baja Tiongkok itu diperkirakan menelan investasi US$ 100 juta.

Namun, kalangan produsen baja lokal mengkhawatirkan relokasi itu justru menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Soalnya, produsen baja Tiongkok skala kecil selama ini tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

Ketua Umum Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Fazwar Bujang menerangkan, relokasi pabrik baja skala kecil asal Tiongkok ke Indonesia mulai terjadi pada awal 2010. "Sampai saat ini 20 pabrik baja Tiongkok sudah merelokasi ke Indonesia. Mereka berlokasi di Cikupa, Surabaya, Semarang, dan Medan. Dengan kapasitas produksi hanya 100 ribu ton per tahun, nilai investasinya juga kecil, sekitar US$ 5-10 juta per pabrik," katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, dengan aturan lingkungan yang lebih ketat, pemerintah Tiongkok menutup pabrik baja skala kecil yang dianggap menimbulkan polusi tinggi, Fazwar menjelaskan, di Tiongkok terdapat 1.000 pabrik baja dari yang berkapasitas besar seperti Bao Steel sampai skala kecil. Sekitar 70% dari total jumlah pabrik baja di Tiongkok tergolong skala kecil.

"Nah, pabrik baja skala kecil dari Tiongkok menilai Indonesia lebih longgar soal aturan lingkungan dan SNI," ucap Fazwar yang juga dirut FT Krakatau Steel (persero).

Dia menerangkan, pabrik baja skala kecil asal Tiongkok itu biasanya memproduksi besi beton dan besi tulangan. Untuk menghemat investasi, pabrik baja asal Tiongkok itu umumnya menggunakan tenaga manusia, bukan mesin mekanis. "Misalnya, untuk menarik besi beton, dipakai tenaga manusia dengan mills capit. Padahal itu membahayakan pekerja," paparnya.

Selain mengkhawatirkan relokasi pabrik baja skala kecil asal Tiongkok, Direktur Eksekutif IISIA Edward R Pinem mengatakan, impor baja hilir asal Negeri Tirai Bambu itu mulai membanjiri pasar domestik melalui pelabuhan kecil di Batam dan Sumatera Utara. Lonjakan impor baja asal Tiongkok mulai dirasakan seiring pemberlakuan perdagangan bebas Asean-Tiongkok (AC-FTA) per Januari 2010. Dalam kerangka AC-FTA, impor logam dasar besi dan baja yang termasuk dalam 1.245 pos tarif dibebaskan dari bea masuk.

"Produk baja Tiongkok yang masuk itu berbentuk baja canai dingin (cold rolled'coils/'CRC) alloy. Masuknya secara bertahap, sekitar 500 ton per bulan. Tapi, sebenarnya tidak hanya itu. Kami juga diberi tahu produk-produk hilir seperti kawat dan paku semakin leluasa masuk ke pasar lokal," katanya.

Dia menerangkan, modus manipulasi nomor HS itu dipakai untuk menghindari instrumen bea masuk safeguard sebesar 145% untuk impor paku. "Lama-lama, perusahaan baja kita bisa injury (rugi besar). Utilisasi industri paku nasional tinggal 30% dari sebelumnya sebesar 60%," terangnya.

Direktur Hubungan Pemerintahan IISIA Titi Marga mengatakan, saat ini produsen baja mengusulkan tambahan 14 SNI wajib untuk meredam lonjakan impor asal Tiongkok. Usulan 14 SNI wajib itu di antaranya mencakup baja profll untuk h-beam (5 jenis) serta CRC.
Dari ratusan jenis produk baja, lanjut dia, Indonesia sejauh ini hanya memiliki 5 SNI wajib untuk baja profil, baja lapis seng, baja las, baja tulangan beton, dan baja tulangan untuk reroller.

Menanggapi masalah itu, Dirjen Industri Logam, Mesin, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ansari Bukhari mengatakan, pihaknya memperjuangkan percepatan penerapan SNI produk baja. Dengan SNI, produk baja yang tidak memenuhi standar tidak diperkenankan beredar di pasar. "Produk yang tidak sesuai SNI ditarik dari pasar, disita," tegasnya.

Menurut dia, upaya itu bisa dilakukan guna membatasi relokasi pabrik-pabrik baja skala kecil asal Tiongkok yang memproduksi dengan teknologi rendah serta cenderung mengabaikan aspek keselamatan kerja dan lingkungan. (c134/dry)

Sumber : Investor Daily, Senin 8 Maret 2010, Hal. 23