Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Industri pipa pangkas produksi 40%

  • Selasa, 24 November 2009
  • 2401 kali

JAKARTA: Tingkat utilisasi (pemanfaatan kapasitas terpasang) industri pipa baja nasional sepanjang tahun ini anjlok hingga 40% dibandingkan dengan kondisi pada tahun lalu.

Dengan pemanfaatan kapasitas yang demikian rendah, produktivitas industri pipa baja di dalam negeri menjadi begitu rendah sehingga berpotensi merugi hingga US$256 juta.

Ketua Klaster Pipa Baja Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Untung Yusuf menerangkan sebanyak 14 perusahaan pipa baja lokal menurunkan utilisasi sekitar 35%-40% sejak awal 2009. Penurunan itu diperkirakan berlanjut hingga akhir tahun ini.

Beberapa faktor penyebab penurunan itu, jelasnya, akibat hantaman krisis ekonomi global yang memperlemah permintaan sehingga sejumlah proyek infrastruktur di dalam negeri seperti pemipaan dan konstruksi migas banyak yang tertunda.

Penurunan permintaan tersebut, lanjutnya, juga menyebabkan harga produk pipa baja menurun tajam. Pada 2008, harga pipa baja sempat menembus US$1.600 per ton seiring dengan tingginya harga bahan baku HRC. "Saat ini, harga pipa baja sangat rendah," katanya, ketika dikonfirmasi kemarin.

Pada tahun lalu, ungkapnya, industri pipa baja domestik masih mampu berproduksi hingga 400.000 ton atau sekitar 31,373% dari total kapasitas terpasang 1,275 juta ton. Pada tahun ini, produksi pipa merosot hingga 40% atau berkurang 160.000 ton dari realisasi 2008. "Industri pipa kita semakin menyedihkan," katanya.

Kapasitas terpasang 14 produsen pipa baja nasional (ton per tahun)

Kapasitas Jenis produk
90.000 ERW+Spiral
25.000 ERW
200.000 ERW
150.000 ERW+Spiral
20.000 ERW
90.000 Spiral
60.000 ERW
150.000 ERW+Spiral
50.000 ERW
150.000 ERW+Spiral
60.000 ERW
50.000 Spiral
30.000 ERW
150.000 Longitudinal saw
1.275.000  


Apabila dihitung berdasarkan harga tertinggi pada tahun lalu sebesar US$1.600 per ton dan hilangnya produksi sebanyak 160.000 ton, potential loss industri pipa baja pada tahun ini ditaksir mencapai US$256 juta.

Berdasarkan data Bisnis, produsen pipa baja melakukan pembelian bahan baku berupa HRC (hot-rolled-coils/baja canai panas) sebagai stok dengan harga yang sangat tinggi atau setara US$1.200-US$1.250 per ton.

Selain itu, lanjutnya, industri pipa di dalam negeri tertekan akibat membanjirnya impor pipa baja China yang relatif lebih murah.

Saat ini, menurut dia, harga pipa baja impor itu nyaris sama dengan harga bahan baku berupa HRC dari PT Krakatau Steel (Persero).

"Jika mengacu pada efisiensi produksi, produk pipa baja lokal setara dengan China, tetapi Pemerintah China memberikan subsidi ekspor kepada industrinya sehingga produk pipa yang masuk ke Indonesia menjadi lebih murah," katanya.

Seorang eksekutif di PT Sinar Surya Baja Profilindo, perusahaan pipa baja berbasis di Tangerang, kepada Bisnis mengungkapkan harga pipa baja di pasar internasional saat ini berkisar US$600-US$650 per ton, sedangkan harga HRC jenis black steel untuk sektor konstruksi sekitar US$550 per ton.

Namun, ungkapnya, terhitung mulai Mei 2009 perseroan kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku pipa baja dari impor untuk proses produksi. Perusahaan yang berkapasitas terpasang 300.000 ton tersebut saat ini hanya beroperasi dengan tingkat utilisasi 10% atau setara 30.000 ton.

Wajib penuhi SNI

Sulitnya mendapatkan pasokan bahan baku disebabkan Departemen Perindustrian memberlakukan pengawasan ketat terkait dengan standar produk industri (SNI) dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 1/M-IND/PER/2009 tentang Pemberlakuan SNI Baja Lembaran dan Gulungan Canai Panas.

Permenperin tersebut ditandatangani Menperin Fahmi Idris pada 7 Januari 2009 dan berlaku efektif 4 bulan setelah ditetapkan. Depperin menilai penetapan SNI baja canai panas ini untuk menjamin mutu, melindungi konsumen, dan menciptakan persaingan usaha yang sehat.

"Baja canai panas yang diperdagangkan di dalam negeri kini wajib memenuhi SNI. Jika ada impor baja yang tidak memenuhi SNI akan direekspor atau dimusnahkan," kata Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka (ILMTA) Depperin Ansari Bukhari.

Menurut sumber itu, pengawasan yang ketat itu berpotensi menjadi hambatan kinerja produksi pipa baja.

"Impor bahan baku diperketat, sedangkan pasokan HRC dari PT KS sangat mahal. Terus terang bahan baku kami di pabrik sudah habis. Kami meminta Depperin memberikan jalan tengah," katanya.

Ketika dikonfirmasi Bisnis, Halim Legino, pemilik PT Sinar Surya Baja Profilindo, mengaku sedang bernegosiasi dengan KS terkait dengan pasokan HRC dan harga untuk kelangsungan produksi perusahaan.

"Saya masih rapat [dengan KS]. Nanti saya kabari," ujarnya. (yusuf.waluyo@bisnis.co.id)

Oleh Yusuf Waluyo Jati
Sumber : Bisnis Indonesia, Selasa 24 November 2009, Hal.i2




­