Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Revisi SNI Ditargetkan Rampung Akhir Tahun

  • Senin, 09 November 2009
  • 1572 kali

“Di sejumlah gedung yang hancur di Padang, misalnya, baja yang dipakai masih baja polos.”

BANDUNG – Revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726 Tahun 2002, kode standar untuk bangunan, ditargetkan rampung akhir tahun ini. “Revisi itu dilakukan pada aspek struktur bangunan dan aspek pemetaan gempa,” kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Departemen Pekerjaan Umum Dr Anita Firmanti seusai diskusi Refleksi Gempa Jawa dan Sumatera di Bandung, Sabtu lalu.

Anita menjelaskan, khusus pada struktur bangunan, lembaganya masih menyusun sejumlah standar untuk acuan bahan bangunan, diantaranya standar untuk beton, baja dan kayu.

Ahli struktur bangunan beton dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Iswandi Imran, menambahkan, saat ini penggunaan beton menjadi sorotan karena banyaknya bangunan yang memakai bahan ini roboh di sejumlah wilayah yang terkena gempa. Setelah diteliti, gedung di wilayah yang masuk zona ancaman gempanya tinggi tidak boleh menggunakan baja polos untuk tulangan beton, melainkan memakai baja berulir.

“Di sejumlah gedung yang hancur di Padang, misalnya, baja yang dipakai masih baja polos,” kata Iswandi. Buktinya, gempa 7,9 pada skala Richter di Sumatera Barat, 30 September lalu, telah menyebabkan 65 bangunan tua, termasuk bangunan cagar budaya, rusak dan banyak yang runtuh.

Pada bagian lain, ahli geoteknik ITB, Dr Masyhur Irsyam, salah satu penyusun revisi pemetaan gempa untuk SNI itu, menjelaskan, revisi yang masuk tahapan koreksi publik ini di antaranya memasukkan data-data gempa baru. Contohnya dalam SNI yang berlaku saat ini tidak pernah diperhitungkan bakal ada gempa sebesar 9,2 Magnitudo, seperti yang terjadi di Aceh dan menyebabkan tsunami.

Peta kegempaan itu sendiri, tutur Masyhur, menampilkan faktor percepatan gempa yang mungkin terjadi di wilayah Indonesia. Masuknya sejumlah informasi peta sesar baru serta potensi gempa merusak yang ditemukan peneliti baru-baru ini membuat besarannya berubah.

Pada pemetaan SNI saat ini, kata Masyhur, faktor percepatan gempa di Padang, misalnya, tercantum 0,25 gravitasi. Padahal, jika mengacu pada gempa yang terjadi pada 30 September lalu, angkanya jauh lebih besar, yakni 0,36 gravitasi. Khusus untuk tahapan rekonstruksi kota itu, Masyhur mengusulkan angkanya harus dipatok lebih tinggi lagi, yakni 0,4 gravitasi, karena ancaman gempa yang diperkirakan lebih besar memungkinkan terjadi di sana.

Secara umum, dia menjelaskan angka percepatan gempa ada yang besarnya sama dan ada yang lebih besar. Umumnya yang lebih besar itu ada di daerah yang berdekatan dengan sesar atau patahan. Masyhur mencontohkan daerah Bandung, di SNI lama, angka percepatan gempa itu tercantum 0,2 gravitasi.

Setelah dihitung, tanpa menghitung potensi Sesar Lembang, angkanya dikoreksi menjadi 0,3 gravitasi. Jadi risiko Bandung lebih besar hitungan faktor gempanya dibanding Jakarta karena lebih dekat ke daerah sumber gempa di selatan Jawa.
Dengan revisi angka itu, tak berarti bangunan yang sudah ada tidak tahan terhadap gempa. “Asal mengacu pada kaidah teknisnya, bangunan masih punya cadangan kasistas (untuk menahan gempa),” kata Masyhur. (Ahmad Fikri/Febrianti)

Sumber : Koran Tempo, Senin 9 November 2009, Hal. A9





­