Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

HARI PANGAN SEDUNIA KE-29 : Petani di Pusaran Arus Pasar Bebas

  • Rabu, 14 Oktober 2009
  • 1647 kali
”Dadi petani kuwi saiki kikrik. Ngurusi sing ora-ora, sing durung mesti ono gunane. Embuh...jamane saiki pancen wis bedho.” (Menjadi petani itu sekarang harus mengerjakan semuanya. Mengurusi hal yang kecil-kecil yang belum tentu ada gunanya. Enggak tahu, sekarang zamannya sudah berubah).

Demikian keluh kesah Suroso (76), petani salak warga Dusun Trumpon RT 04 RW 04, Kelurahan Merdikorejo, Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (10/10).

Suroso mewakili gambaran sebagian besar petani Indonesia, yang memiliki lahan garapan kurang dari 0,5 hektar.

Petani seperti Suroso itulah yang kini harus berhadapan dengan isu-isu global. Seperti perdagangan bebas lengkap dengan beragam ”muslihat” yang dikembangkan negara-negara maju melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Menghadapi ”muslihat” itu, Suroso hanya bisa menerima. ”Yo... sing penting nandur sing apik. Payu kono ora payu yo kono.. (Ya, yang penting menanam dengan baik, laku dijual syukur, tidak laku ya tidak apa-apa),” kata Suroso, yang memiliki 1.500 rumpun salak.

Bagi Suroso, dan petani lainnya, hidup urusan Tuhan. Mereka meyakini kepasrahan akan mendatangkan berkah, termasuk keberhasilan berproduksi.

Tak mudah bagi mereka mengubah cara bertani, apalagi mengembangkan pola pertanian modern, yang mengadopsi prinsip-prinsip pertanian yang baik (good agricultural practices/GAP), yang diperkenalkan Uni Eropa sejak Januari 2005.

Indonesia mengadopsi prinsip-prinsip GAP sejak 2006, seiring diberlakukannya Peraturan Menteri Pertanian No 61/2006.

Ambisi negara maju
Direktur Mutu dan Standardisasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian Nyoman Oka Tridjaja menyatakan, strategi perdagangan terus berubah, mengikuti permintaan konsumen. Dan itu sering kali hanya memenuhi ambisi negara maju dalam menentukan pasar komoditas pertanian mereka.

Indonesia tak bisa hanya berdiam diri, menjadi bulan-bulanan negara maju dan jadi sasaran pasar buah murah.

Oleh karena itu, kata Nyoman Oka, Indonesia mengikuti pola yang sama, yakni menerapkan hambatan nontarif bagi setiap produk pangan asal tumbuhan impor yang masuk Indonesia.

Konsekuensinya, Indonesia harus memproduksi sendiri produk pangan dari tumbuhan berkualitas dan aman dikonsumsi. Ini agar Indonesia tak dicap sebagai negara yang mempraktikkan perdagangan pangan secara tidak adil.

GAP hanya bagian dari persyaratan sertifikasi. Ada standardisasi lain, seperti sistem pengolahan yang baik, sistem HACCP, sistem mutu ISO 22000, dan pangan organik.

Pemerintah mengadopsi GAP sebagai upaya melaksanakan sistem mutu dan standardisasi produk buah dan sayuran.

GAP adalah proses produksi berdasarkan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memenuhi aspek keamanan pangan dan pelestarian lingkungan. Buah yang dihasilkan bermutu, aman dikonsumsi, aman bagi pekerja dan lingkungan.

Dengan perubahan kebijakan perdagangan dunia, nantinya hanya buah atau sayuran hasil dari petani yang telah diakreditasi oleh lembaga sertifikasi Otoritas Kompeten Keamanan Pangan yang bisa diekspor.

Petani memang bisa menjual komoditasnya di pasar lokal. Tetapi, lemahnya kontrol terhadap impor akan membuat pasar lokal menjadi target empuk serbuan buah dan sayuran impor, yang harganya relatif murah.

Dengan mengikuti pedoman Indo-GAP, petani harus melatih dirinya mendokumentasikan setiap kegiatan di lapangan.

Mencatat mulai dari kapan mengolah lahan, pemupukan dasar, memindahkan bibit, membagi petak, mengawinkan, memupuk, hingga memanen.

Tidak hanya itu, petani harus menjaga agar orang tidak sembarangan membuang kotoran di kebunnya. Tidak boleh masuk kebun kalau sedang sakit. Mengangkut hasil panen, memilah, semuanya sesuai standar.

”Ada 12 item yang harus dicatat setiap melakukan kegiatan. Ini agar mudah melacak bila konsumen negara maju mendapatkan hal yang tidak diinginkan saat makan salak kami,” kata Musrin, petani salak pondoh.

Meski rumit, para petani salak pondoh yang tergabung dalam Kelompok Duri Kencana mengikuti semua standar itu. Saat ini kebun-kebun mereka telah diregistrasi. Ini tampak dari pelat-pelat aluminium, penanda kapan pemilik kebun mengawinkan salaknya, memupuk, dan catatan lainnya.

Sayangnya, jerih payah petani itu belum mendapat penghargaan semestinya. Menurut Kepala Dinas Pertanian DI Yogyakarta Nanang Suwandi, harga salak pondok yang mengikuti prinsip GAP tidak jauh berbeda dengan yang dibudidayakan secara tradisional.

Konsumen lokal belum memiliki kesadaran tentang kualitas buah. Sementara pasar ekspor belum berkembang. Bahkan, ekspor salak ke China terhenti karena belum ada kesepakatan antara petani dan eksportir.

Persaingan pasar makin ketat. Untuk memenangkan pasar, petani tak bisa dibiarkan sendirian tertatih-tatih menghadapi perubahan. Petani butuh dukungan, dari birokrasi, politisi, maupun konsumen lokal. Jangan biarkan petani ”tenggelam” di pusaran arus globalisasi.(Hermas E Prabowo)

Sumber : Kompas, Kamis 14 Oktober 2009, Hal.21



­