Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Kebangkitan industri kakao perlu dukungan

  • Senin, 05 September 2011
  • 1236 kali
Kliping Berita

Tekad Menteri Perindustrian Mohamad S. Hidayat pada 24 Juni 2011 di PT Ceres, Bandung, Jawa Barat saat mencanangkan 2011 sebagai tahun Kebangkitan Industri Kakao dan Cokelat Nasional, seperti membangkitkan semangat pelaku di sektor tersebut. Boleh jadi, dari petani hingga pemilik pabrik pengolahan, bersukacita. Niat itu, dengan sendirinya, akan diikuti oleh diberikannya perhatian yang lebih kepada mereka. Segala persoalan yang selama ini membelenggu diri mereka al seperti pungutan liar dan infrastruktur yang minim, dengan sendirinya akan ikut dibenahi.

Apalagi pencanangan itu juga sekaligus ditandai dengan diresmikannya 14 industri pengolahan kakao dan cokelat di berbagai daerah di Tanah Air. baik yang merupakan investasi baru maupun industri lama yang melakukan perluasan.

Dengan diresmikannya ke-14 industri kakao dan cokelat itu, baik pabrik baru maupun pabrik perluasan, telah meningkatkan kapasitas terpasang ke-14 industri tersebut 57.9% dari 272.875 ton per tahun menjadi 430.950 ton per tahun, atau meningkat 158.075 lon per tahun. Adapun, kapasitas terpasang industri pengolahan kakao dan cokelat nasional meningkat dari 531.675 ton per tahun pada 2010 menjadi 689.750 ton pertahun pada 2011. Boleh jadi, aksi itu, membawa era baru bagi pengembangan industri pengolahan kakao dan cokelat Indonesia. "Ini merupakan momentum yang sangat baik dalam kebangkitan industri kakao dan cokelat di dalam negeri. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila 2011) kita canangkan sebagai tahun kebangkitan industri kakao dan cokelat nasional," kata Menperin.

Apalagi pencanangan itu merupakan follow up dari berbagai program dan kebijakan yang telah dan sedang dijalankan pemerintah di mana industri pengolahan kakao (bersama CPO dan karet) ditetapkan sebagai salah satu industri prioritas agro yang dikembangkan melalui pengaliran produk agro.

Jika semua itu berjalan dengan baik pada akhir 2011, gairah bukan hanya terjadi di hilir dunia kakao Indonesia. Tapi, di bagian hulu yang melibatkan petani kakao terutama di Sulawesi, pun akan ikut terdongrak.

Paling tidak, kepastian pasar dari produksi tanaman mereka, memperoleh kepastian. Lapangan kerja pun semakin terbuka, yang otomatis menekan laju angka pengangguran.

Ditambah lagi, kebijakan yang bersifat support untuk mendorong pengembangan industri hilir kakao dan cokelat nasional sejauh ini telah meretas persoalan yang kerap menjadi penghambat tumbuhnya industri itu di Tanah Air.

Sebutlah, misalnya, menghapuskan PPN atas komoditi primer termasuk biji kakao, melakukan negosiasi untuk penyesuaian tarif bea masuk kakao olahan di beberapa negara tujuan ekspor, melaksanakan Program Cemas Kakao untuk meningkatkan mutu dan produksi kakao, menerapkan SNI wajib untuk kakao bubuk dan menerapkan bea keluar alas ekspor biji kakao.

Bangun pabrik

Berbagai langkah kebijakan itu sudah menampakkan hasilnya. Apalagi setelan penerapan bea keluar biji kakao, beberapa industri yang sebelumnya dikatakan mati suri kini sudah bangkit kembali.

"Bahkan beberapa industri sedang dan telah melakukan ekspansi, di samping itu banyak investor dari luar yang ingin berinvestasi di Indonesia, dan saat ini sudah ada investor asing yang membangun pabrik pengolahan kakao di Batam yaitu PT Asia Cocoa Indonesia." tutur Menperin.

Dengan demikian, pemerintah telah mampu menekan kebiasaan negeri ini yang mengekspor kakao dalam bentuk biji kakao. Tapi menuju ke arah produk yang bernilai tambah. Termasuk membuat industri pengolahan tidak kekurangan pasok bahan baku. Perlu diketahui, 72% biji kakao Indonesia masih diekspor dan hanya 28% yang diolah di dalam negeri.

Namun, dengan berbagai kebijakan dan program pemerintah itu. khususnya penerapan beakeluar biji kakao, volume ekspor biji kakao pada 2010 telah turun 2% dibandingkan dengan ekspor 2009, yaitu dari 439.300 ton pada 2009 menjadi 432.426 ton pada 2010.

Walaupun volume ekspor biji kakao 2010 mengalami penurunan 2% dibanding 2009. nilai ekspor tetap naik 10% dari US$1,09 miliar pada 2009 menjadi USS 1,19 miliar pada 2010 akibat naiknya harga biji kakao di pasar dunia.

Sementara itu, volume ekspor kakao olahan meningkat 26% pada 2010 dibandingkan dengan ekspor 2009. yaitu dari 81.993 ton pada 2009 menjadi 103.055 ton pada 2010. Walaupun volume ekspor kakao olahan hanya naik 26% selama 2010. namun nilai ekspornya mengalami peningkatan yang lebih tinggi, yaitu 38%. Hal itu terjadi karena harga produk kakao olahan pun mengalami kenaikan selama 2010.

Dengan meningkatnya produksi kakao olahan dan produk cokelat, kata Menperin, upaya pemasarannya pun perlu ditingkatkan. Salah satunya dengan meningkatkan konsumsi kakao per kapita.

Rasanya, semangat Menteri Perindustrian ini perlu mendapatkan support dari semua pihak.

Efek berganda dari program ini, bukan hanya milik satu sektor saja misalnya pertanian. Tapi juga akan menjalar ke semua sektor dengan meningkatnya devisa dari ekspor bernilai tambah. Terutama dukungan untuk membangun infrastruktur di sektor hulu.

Sumber : Bisnis Indonesia, Senin 05 September 2011. Hal. 11




­