Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Antisipasi dampak CAFTA, BSN gencarkan GENAP SNI

  • Kamis, 04 Agustus 2011
  • 1839 kali
Kliping Berita

PEMBERLAKUAN China ASEAN Free Trade Area (CAFTA) memang telah menghadapkan Indonesia pada dua isu utama, yakni bagaimana memperkuat dan meningkatkan daya saing produk-produk nasional di pasar ekspor ASEAN sekaligus menahan laju agresivitas produk-produk China masuk kepasar domestik, dan mencegah beredarnya produk-produk China yang membahayakan keamanan dan keselamatan masyarakat yang menggunakan dan mengkonsumsi produk-produk tersebut.

Salah satu solusi jitu menghadapi perdagangan bebas ini adalah labeling Standar Nasional Indonesia (SNI) pada barang impor.  Dalam hal ini, Kementerian Perdagangan bertugas mengawasi barang–barang beredar apakah sudah memenuhi SNI sehingga konsumen dan industri lokal terlindungi. Sedangkan pelabelan SNI itu merupakan tugas Badan Standardisasi Nasional (BSN).

BSN tidak sendirian dalam menetapkan SNI. BSN merangkul industri terkait, regulator, pakar dan konsumen sendiri sehingga SNI adalah hasil konsensus. Ini penting untuk memenuhi syarat transparansi. Selain itu, SNI yang dibuat harus harmonis dengan standar internasional, dibuat sesuai kebutuhan pasar sehingga bisa efektif dalam memfasilitasi perdagangan, dan memberikan kesempatan kepada UKM dan daerah untuk berpartisipasi dalam perumusan SNI.

Menurut Kepala BSN Bambang Setiadi, BSN telah menyusun 11 langkah Gerakan Nasional Penerapan SNI (GENAP SNI), sebagai suatu program edukasi publik penerapan SNI. Langkah ini diambil untuk mengamankan dan menanggulangi dampak-dampak negatif yang bersifat merugikan atau melemahkan kepentingan nasional yang ditimbulkan oleh CAFTA. Bahkan menurut Bambang, langkah strategis ini sudah menuju langkah yang ke-15.

Bambang juga menyampaikan, bahwa dalam tiga tahun terakhir ini BSN menunjukkan peran dan performa yang baik dan penting. Yaitu dengan pembuktian dalam program pemerintah yakni konversi minyak tanah ke gas. Diantaranya adalah SNI pada tabung baja LPG (SNI 1452-2007), katup tabung gas (1591-2008), selang karet (SNI 06-7213-2006), kompor gas satu tungku (SNI 7368-2007), dan regulator tekanan rendah (SNI 7369-2007).

Dengan peran BSN dalam penyusunan SNI tersebut, maka sebagaimana telah dilaporkan dalam salah satu rapat Menko Kesra bahwa keuntungan program konversi sebesar Rp 28,7 triliun. Dan, tim litbang kemungkinan bahkan mencapai Rp. 49,1 triliun.

Peran penting yang kedua adalah program pengamanan masyarakat dalam SNI helm. “Kita lihat bahwa cara para pedagang memasarkan helm sekarang lebih bergengsi dengan menunjukkan SNI daripada merek helm itu sendiri. Namun dibalik itu, korban kecelakaan dijalan akibat pengendara motor tanpa helm maupun helm ber-SNI, angkanya masih ribuan dalam satu tahun. Dan yang meninggal dalam usia yang sangat produktif antara 16-35 tahun.

Karena itu, program helm ini harus terus digalakkan dan dengungkan agar hasilnya sama dengan program tabung gas,” ujar Bambang. Kepala BSN ini menegaskan bahwa standardisasi memiliki andil yang besar guna menghadapi perdagangan bebas dan melindungi keselamatan masyarakat.

Mempersiapkan Standar, Internasional Tempe 


Sementara itu, untuk pengembangan standar makanan internasional, Indonesia memiliki pengalaman ketika mengembangkan standar mi instan. “Indonesia pernah ditetapkan menjadi Ketua Drafter Standar Instant Noodle dan berhasil memperjuangkan diadopsinya Standar Codex on Instant Noodles, dimana draft awalnya berasal dari SNI,” ujar Kepala BSN Bambang Setiadi.

Kini, Indonesia kembali memperjuangkan standar internasional untuk makanan yang berasal dari negeri sendiri. Pada awal Juli lalu, Indonesia berhasil membuat tempe yang sudah memiliki standar Regional Asia ini disetujui sidang Codex Alimentarius Commission.

“Standar regional tempe yang diajukan oleh Indonesia melalui CCASIA telah lolos proses critical review pada saat sidang sesi ke-65 Codex Executive Committe (CCEXEC) di Jenewa awal Juli lalu,” ujar Bambang. Sidang yang dihadiri oleh 140 anggota negara di dunia ini menyetujui usulan Indonesia agar tempe dapat dijadikan suatu standar regional.

“Setelah itu, mendapatkan rekomendasi CCEXEC untuk diadopsi menjadi new work item saat CAC. Akhirnya tempe berhasil disahkan sebagai new work item di CAC,” papar Bambang.

Menurut Bambang, secara teknis memang ada kesulitan untuk menghitung perdagangan tempe antarnegara karena sifat tempe yang tidak tahan lama. Namun, industri-industri tempe yang memperbaiki teknologi kemasan dengan cara vacum dan frozen mulai berkembang.

“Beberapa industri tempe yang melakukan pengemasan tempe dalam bentuk vacum mulai melakukan ekspor dari Indonesia ke Australia dan Jepang. Jumlahnya masih berkisar antara 10-30 ton tempe per tahun,”ungkap Bambang. Dia pun memperkirakan, tempe akan menjadi makanan penting dan sumber utama para vegetarian. “Angka penganut vegetarian diberbagai negara terus meningkat, India : 399 juta, AS: 20 Juta, dan Eropa: 20 Juta.”

Meski sulit mendapatkan data ekspor, lanjut Bambang, dilakukan pula pendekatan logis untuk memperkirakan pentingnya nilai tempe dengan menghitung ekspor impor bahan baku tempe melalui kedelai. “Ternyata, dalam lima tahun terakhir, impor kedelai berkembang hampir 30 persen per tahun, tuturnya.

Bambang melanjutkan, sekarang New work Item tersebut akan ditindaklanjuti dengan penyusunan draft dan pembahasan melalui Electronic maupun Physical Working Group. “Setelah mendapatkan pengakuan standar tempe di tingkat kawasan Asia, tiga empat tahun mendatang kita bisa punya standar tempe yang diperdagangkan secara internasional,” kata Bambang

Menurut Bambang, standar tempe sangat penting dikuasai Indonesia. Pasalnya perkembangan industri tempe di TanahAir cukup pesat. Saat ini, jumlah unit usaha tersebut sebanyak 32.171 unit dan menyerap tenaga kerja sebanyak 83.352 orang. Nilai bahan baku dari industri tersebut mencapai 54, 9 triliun sedangkan nilai produksi sebesar Rp 92,3 triliun dan nilai tambahnya sebesar Rp 37,3 triliun.

“Kalau Indonesia mampu mengembangkan standar tempe di tingkat internasional, dengan memproduksi tempe mutu bagus dan tahan lama, maka Indonesia mempunyai kesempatan besar untuk mengembangkan indusri tempe modern di seluruh dunia, dengan menggunakan standar yang kita kembangkan sendiri,” kata Bambang. Fifia Asiani
Sumber : Jurnal Nasional, Senin 1 Agustus 2011. Hal. 3




­