Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Efektivitas penerapan SNI

  • Jumat, 17 Juni 2011
  • 4245 kali
Kliping Berita

KEMENTERIAN Perindustrian akan mendirikan beberapa laboratorium pengujian produk di daerah-daerah untuk menunjang penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). Hal itu terkait penanggulangan serbuan produk impor. Namun, langkah Kementerian Perindustrian sebagai regulator teknis yang mengadopsi SNI tersebut justru bisa menjadi bumerang bagi industri dalam negeri.

Pengadaan laboratorium penguji beserta SDM yang akan mengoperasiakan terkesan bertele-tele. Padahal, itu bisa diatasi dengan menggunakan fasilitas yang telah dimiliki oleh perguruan tinggi, UPT Kementerian, BUMN dan lembaga ristek pemerintah yang saat ini juga banyak yang menganggur. Mestinya kebijakan SNI yang dilakukan di negeri ini tidak bersifat angin-anginan. Perkembangan dan penerapan standardisasi produk dan jasa sangat dipengaruhi oleh sikap dan budaya masyarakat suatu bangsa.

Pada dasarnya, perumusan, penetapan dan penerapan standar nasional itu membutuhkan dorongan budaya menulis dan mengukur secara terus-menerus. Suatu bangsa yang perilaku birokratnya korup serta masyarakat yang suka bersilat lidah dan mengambil jalan pintas akan kesulitan mengembangkan standar nasionalnya. Nah, budaya menulis dan mengukur secara detail terkait dengan proses  pembuatan suatu produk inilah yang sulit diwujudkan.

Masalah SNI sebenarnya bukan barang baru dan sudah sangat lama menjadi program pemerintah, namun tidak pernah tuntas. Padahal yang diperlukan adalah gerakan budaya standardisasi yang melibatkan seluas mungkin peran masyarakat.

Keswadayaan masyarakat itu diharapkan bisa mengembangkan sistem SNI yang mencakup penyusunan dan revisi pedoman yang berkaitan dengan pembentukan Panitia Teknis, pengembangan SNI, penulisan SNI, adopsi standar internasional, serta Pedoman Standardisasi Nasional lainnya yang terkait. Pengembangan SNI membutuhkan penguatan manajemen, penerapan teknologi informasi, dan pembentukan jaringan pakar. Selain itu pentingnya restrukturisasi Panitia Teknis SNI agar masing-masing memiliki lingkup yang jelas, terstruktur, dan tidak tumpang tindih.

Jika dikaji secara mendalam, SNI bukanlah jurus instan untuk membendung atau mengatasi serbuan barang impor. Yang harus digugat adalah rendahnya komitmen pemerintah untuk melaksanakan sejumlah aturan yang terkait dengan persyaratan suatu produk impor yang masuk ke pasar lokal saat CAFTA diberlakukan. Pemerintah pura-pura kebakaran jenggot ketika produk China membanjiri pasar lokal. Mestinya sejak semula pemerintah jeli dan cerdas dalam mengantisipasi. Serta memiliki metode yang efektif untuk menangani rekam jejak produk China yang sarat masalah. Apalagi sistem standardisasi produk di China berbeda dengan negara lain.

Keruwetan SNI
Seperti misalnya membanjirnya produk sepatu murah dari China yang telah memukul produsen sepatu lokal. Kalau pemerintah jeli dan mau bekerja detail mestinya mengerti betul kelemahan dan bahaya produk sepatu impor tersebut. Seperti diketahui, sering ditemukan bahwa bahan baku alas sepatu impor menggunakan PVC plus campuran sampah yang tidak proporsional. Teknologi proses produksi di China ternyata mencampurkan sekitar 80 persen sampah, barulah sisanya PVC murni.

Padahal, menurut standardisasi, mestinya dasar sepatu harus menggunakan PVC murni sehingga tidak mudah terdegradasi jika kena panas. Temuan-temuan itulah yang harusnya diartikulasikan dalam UU Perlindungan Konsumen serta diumumkan kepada publik.

Membendung serbuan produk impor dengan penerapan SNI kurang esensial dan hanya bersifat eksesif. Apalagi perkembangan SNI yang menyangkut kinerja kelembagaan, SDM, fasilitas laboratorium dan sistem informasi standardisasi di negeri ini masih menyedihkan. Sehingga, proses dan prosedur sertifikasi produk lokal bersifat asal-asalan. Sedangkan sertifikasi produk impor hanya bersifat formalitas birokratis. Jika kebijakan standardisasi tiba-tiba diperketat maka akan menjadi bumerang bagi pelaku industri lokal. Karena kapabilitas teknologi industri lokal masih lemah sehingga tidak mampu menerapkan persyaratan jaminan mutu.

Pada prinsipnya penerapan SNI bersifat sukarela, yaitu atas dasar kebutuhan para pelaku usaha dalam rangka mendapatkan pengakuan atas jaminan mutu. Kegiatan akreditasi dan sertifikasi dalam penerapan SNI sukarela lebih bersifat pengakuan bagi pelaku usaha bahwa produknya telah memenuhi spesifikasi atau ketentuan SNI.

Karena sifat penerapannya sukarela, maka sertifikasi tersebut tidak diatur dalam regulasi, namun lembaga sertifikasi produk yang menerbitkan SNI sukarela wajib melakukan survailen penggunaan sertifikat tanda SNI. Dalam hal pemberlakuan SNI wajib, pengadopsian SNI menjadi regulasi teknis dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang memiliki kewenangan meregulasi kegiatan dan peredaran produk di pasar.

Di sinilah karancuan dan keruwetan sering terjadi antara kementerian teknis dan otoritas standardisasi. Sebenarnya fungsi strategis Badan Standardisasi Nasional (BSN) adalah bertanggung jawab dalam proses notifikasi pemberlakuan SNI wajib itu ke World Trade Organization (WTO).

 Proses di atas tentu harus sesuai dengan definisi standar yang diterbitkan oleh ISO International Organization for Standardization (ISO) dan International Electrotechnical Commission (IEC), dua lembaga standar internasional terkemuka.

Menurut ketentuan, SNI adalah standar yang ditetapkan oleh BSN (Badan Standardisasi Nasional) dan berlaku secara nasional. Sedangkan definisi penerapan SNI adalah kegiatan menggunakan SNI oleh pelaku usaha.

Pentingnya mengubah mindset bahwa untuk meraih SNI tidak bisa dilakukan dengan cara pintas, tetapi melalui proses atau prosedur yang benar. Masyarakat dan pelaku usaha harus memahami bahwa sebenarnya SNI merupakan dokumen yang berisikan ketentuan teknis, pedoman, dan karakteristik kegiatan dan produk, yang disusun dan disepakati oleh pihak pemangku kepentingan dan ditetapkan oleh BSN sebagai acuan yang berlaku secara nasional.

Hal itu untuk menetapkan persyaratan kegiatan dan produk untuk melindungi kepentingan umum, menentukan batasan mutu dan keragaman produk, serta kompatibilitas dan interoperabilitas antarproduk untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan meningkatkan kepastian transaksi perdagangan. Selain itu juga menyediakan pedoman bagi pelaksanaan sistem manajemen produksi dan kegiatan lain untuk berbagai keperluan seperti: sistem manajemen mutu dan sistem manajemen lingkungan.

Sumber : Kontan, Jumat 17 Juni 2011. Hal. 23




­