Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

ACFTA dan Nasib UKM

  • Selasa, 03 Mei 2011
  • 1282 kali
ACFTA dan Nasib UKM
China yang telah mereformasi ekonominya dan membuka diri lebih dari tiga dekade lalu telah berhasil "menguasai" dunia.

Ekonomi China tumbuh dan berkembang pesat karena surplus perdagangan internasionalnya yang besar (export driven country). Surplus perdagangan internasional China pada 2008 mencapai USD296 miliar, meskipun mulai turun menjadi 183 miliar dolar AS pada 2010, bahkan sempat mengejutkan banyak pihak karena mengalami defisit USD7,3 miliar pada Februari 2011
(masa liburan Tahun Baru), namun mulai balik surplus USD140 juta pada Maret 2011.

Salah satu penyebabnya selain harga impor produk sumber daya alam yang semakin mahal, juga mata uang Yuan yang mulai menguat, serta kenaikan upah tenaga kerja, tuntutan energi bersih ataupun menjaga lingkungan hidup yang semakin meningkat. Selain itu,FreeTrade Area(FTA) ataupun proteksi yang dilakukan berbagai negara juga tentu saja memengaruhi surplus China. Karena itu,Pemerintah China memperkirakan surplus perdagangan internasionalnya akan menurun
pada masa mendatang. Namun, produk manufakturnya diperkirakan masih akan tetap membanjiri pasar dunia.

Keluhan banjirnya produk China yang membuat hilangnya lapangan pekerjaan sudah lama disuarakan negara maju seperti AS, Jepang, dan Eropa Barat. Mereka menganggap strategi China
yang mematok Yuan yang lemah selama lebih dari tiga dekade telah membuat produk China murah di dunia. Dengan begitu,"tuntutan" agar China mengapresiasi mata uangnya semakin keras terdengar di berbagai forum.Membanjirnya produk China juga sudah mulai membuat negara sedang berkembang mulai "gerah". Dalam pertemuan BRIC plus Afrika Selatan yang lalu Presiden Brasil Dilma Rousseff bahkan menyinggung masalah tersebut.

Di Indonesia hari-hari sebelum kedatangan Perdana Menteri China minggu lalu telah memunculkan banyaknya tuntutan, bahkan menko perekonomian mulai menyuarakan perlunya renegosiasi kesepakatan perdagangan antara
Indonesia dan China,meskipun sudah ada kerangka ASEAN China FTA (ACFTA). Namun, tidak pernah ada renegosiasi. Sebagai gantinya, China berjanji akan investasi USD10 miliar ke Indonesia.

Isu renegosiasi FTA yang selalu muncul pada saat ada pejabat tinggi China datang ke Indonesia telah menguap. Diperkirakan, China tidak akan mau renegosiasi FTA dengan negara mana pun. Kalau merenegosiasi dengan satu negara, negara lainnya akan meminta perlakuan yang sama. Padahal seperti kita ketahui bahwa bangkitnya ekonomi China karena surplus perdagangannya yang besar selama ini, meskipun membanjirnya produk China itu sudah menjadi masalah di hampir semua negara di dunia.

Sementara itu, hasil monitoring dari Kementrian Perindustrian terhadap lima sektor industri yang paling terkena dampak masuknya produk China yang dilakukan akhir 2010 untuk produk elektronik, furnitur,tekstil dan produk tekstil, logam dan produk logam, serta permesinan,semuanya menunjukkan ada penurunan produksi, penjualan, keuntungan,dan tenaga kerja. Untuk produksi bahkan bisa berkurang sampai 50%.Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian ISEI pada 2010 dan Pusat Studi Asia Pasifik UGM pada 2007.

Pengusaha Indonesia, terutama UKM, adalah yang mengalami pukulan paling telak oleh banjirnya produk China. Jumlah UKM dalam lima tahun terakhir terus berkurang. Selain banjirnya produk China, juga masalah yang dihadapi masih sangat banyak. Sebagai gambaran, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan bahwa dampak liberalisasi perdagangan, terutama dengan China,telah memaksa beberapa industri mengurangi jumlah tenaga ker-janya karena turunnya produksi.

Contohnya industri alas kaki yang jumlah produksinya turun 20%, sehingga terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 20% juga, di mana 300.000 orang dari 1,5 juta pekerja alas kaki di industri rumah tangga terpaksa diberhentikan gara-gara ACFTA. Padahal rata-rata penjualan industri alas kaki mencapai Rp27 triliun per tahun untuk pasar dalam negeri.

Sementara itu, masalah yang dihadapi dunia usaha Indonesia adalah masih banyak di antaranya tarif dasar listrik (TDL) yang dianggap mahal dan kualitasnya buruk, masalah ketenagakerjaan, suku bunga yang tinggi, banyaknya pungutan, pajak, dan retribusi daerah yang besar, infrastruktur yang buruk. Belum lagi penyelundupan barang yang marak.

Padahal China yang sangat terkenal dengan dukungan ataupun fasilitasnya pada dunia usaha juga semakin agresif. Negara itu telah membeli 670 dokumen standar nasional Indonesia (SNI) untuk berbagai produknya. Dapat kita lihat betapa pemerintahnya berusaha keras untuk melindungi pasarnya di luar negeri, padahal surplus perdagangannya dengan Indonesia cukup besar, dan barang hasil manufakturnya sudah membanjiri pasar Indonesia.

Sementara itu, meskipun Menteri Koperasi dan UKM menyatakan bahwa pemerintah akan memproteksi usaha kecil dan menengah dalam menghadapi ACFTA, perlu ada keberpihakan. Namun, sampai sekarang membanjirnya produk China yang membuat banyak UKM terpuruk atau gulung masih terus ber-langsung.

Strategi Kementerian Koperasi dan UKM dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan pendampingan,mulai dari aspek kredit, produksi, dan pemasaran,meskipun tampak bagus, jelas masih kurang, dan sebenarnya sudah terlambat. Kesepakatan sudah dibuat akhir 2004, dan penurunan tarif normal tract sudah dimulai sejak 2005.Memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Keluhan menyangkut membanjirnya produk China tampaknya ditanggapi Pemerintah China,meskipun diperkirakan tidak akan bersedia melakukan renegosiasi. Pemerintah China bahkan sudah mengundang pihak Indonesia untuk bertemu 9-12 Juni nanti di China untuk melakukan dialog bilateral tentang ketidakberimbangan neraca perdagangan kedua negara pasca-ACFTA. Dialog itu akan difokuskan untuk membahas lima komoditas Indonesia yang terindikasi mengalami injury, yaitu tekstil, elektronik, alas kaki, mainan anak, serta makanan dan minuman.

Namun, yang sangat penting bagi Indonesia adalah membawa bukti, khususnya dampak banjirnya produk China yang telah melumpuhkan UKM, sehingga UKM memiliki waktu untuk meningkatkan daya saingnya, paling tidak untuk mempertahankan pasar domestik.

Terlepas dari itu, perlu disadari bahwa itu semua hanya "pengobatan" sementara, tetap saja pekerjaan rumah utama kita adalah bagaimana pemerintah baik pusat maupun daerah perlu menyadari bahwa ini masalah serius.Pemerintah perlu bekerja sama dengan dunia usaha untuk meningkatkan kemampuan kita bersaing sehingga produkproduk kita tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Semoga.●

SRI ADININGSIH
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
Sumber : Seputar Indonesia, Selasa 3 Mei 2011. Hal. 8