Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Harga Elpiji 3 Kg Batal Naik

  • Selasa, 05 Oktober 2010
  • 1085 kali

Kliping Berita

Oleh Novy Lumanauw dan Dihar Dakir

JAKARTA – Pemerintah mengisyaratkan untuk membatalakan rencana menaikkan harga elpiji kemasan 3 kilogram (kg) yang sedianya dimaksudkan untuk mencegah tindak pengoplosan akibat perbedaan harga antara elpiji 12 kg dengan 3 kg.

Hal itu disampaikan oleh Menko Kesra Agung Laksono saat ditemui di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (4/10). “Kita akan pantau sampai akhir tahun karena ternyata dengan adanya law enforcement, sosialisasi dan edukasi, tidak perlu ada kenaikan lagi,” ujarnya.

Menurut Agung, sekarang pemerintah lebih mengutamakan program sosialisasi dan perbaikan kualitas dari komponen-komponen aksesori elpiji. “Hal ini ternyata cukup berhasil menekan kasus. Artinya tempo hari masyarakat karena tidak diberitahu penggunaan yang benar dan aman,” tutur dia.

Agung menegaskan, kenaikan harga elpiji 3 kg saat ini belum diperlukan karena adanya pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan pengoplosan.

Menurut dia, semakin lama terus dipantau dengan ketat, maka kasus-kasus ledakan elpiji akan hilang. “Dan kemudian ditemukan teknologi baru yang dirancang BPPT tidak perlu ada kenaikan lagi. Ini lagi diproses,” tukas Agung.

Sebelumnya, pemerintah mengkaji beberapa mekanisme untuk menghilangkan disparitas harga, antara lain menaikkan harga elpiji kemasan 3 kg menjadi sama dengan kemasan 12 kg, disertai pembagian kupon kepada masyarakat yang masuk kualifikasi pengguna elpiji kemasan tiga kilogram.

Mekanisme lainnya adalah menurunkan harga elpiji kemasan 12 kg menjadi sama dengan harga elpiji kemasan 3 kg. Selain itu juga ada opsi menurunkan harga elpiji kemasan 12 kg pada angka tertentu, dan pada saat yang sama menaikkan harga elpiji kemasan 3 kg pada angka tertentu pula, sehingga ada kesamaan harga.

Disparitas harga antara elpiji bersubsidi kemasan 3 kg dan elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg cukup signifikan. Saat ini, harga elpiji 3 kg dan elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg cukup signifikan. Saat ini, harga elpiji 3 kg ditetapkan pemerintah sebesar RP 4.250 per kg, sementara harga elpiji 12 kg yang ditentukan PT Pertamina Rp 5.850 per kg. Dengan demikian, disparitas harga antara elpiji tabung 12 kg dan 3 kg adalah Rp 1.600 per kg.

Harus Ber-SNI

Sementara itu, pemerintah meminta agar semua tabung dan aksesori elpiji 3 kg yang tidak memiliki standar nasional (SNI) tidak boleh beredar setelah tahun 2013. Hal itu dilakukan supaya pemerintah bisa melakukan pengawasan secara ketat dan berkala demi menghindari ledakan yang bisa menimbulkan korban jiwa.

“Selanjutnya kami juga sudah melakukan berbagai perbaikan, artinya tabung yang dulu sudah diproduksi dan tidak ada SNI hanya boleh samapai 2013. Dan selebihnya akan dipastikan ada SNI-nya semua. Selanjutnya akan melakukan pengawasan secara berkala dan ketat,” kata DIrjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka (ILMTA) Kementerian Perindustrian Putu Surya Wirawan kepada Investor Daily usai Rapat Panja Elpiji dengan Komisi VII DPR RI, di Gedung DPR Jakarta, Senin (4/10).

Putu menuturkan, pihaknya juga mendapat tugas baru dari pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan dari kinerja konversi minyak tanah (mitan) ke elpiji dan sejumlah produk yang berkaitan dengan program konversi.

Menurut dia, berdasarkan data dari PT Pertamina (Persero), saat ini jumlah perusahaan tabung elpiji sudah mencapai sekitar 33 perusahaan dari awalnya hanya enam perusahaan tabung. Dengan pertambahan jumlah perusahaan tersebut, secara otomatis terjadi penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi, begitu juga halnya dengan perkembangan industri terkait yang cukup tajam.

Dia menjelaskan, Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan suatu spesifikasi teknis produk yang kemudian dikukuhkan sebagai regulasi. Untuk menjamin kualitas tabung dan aksesorinya, saat ini ada sekitar lima batasan SNI dan itu wajib yang terkait dengan tabung dan apabila ada yang melanggar, maka sanksinya akan sangat berat.

Menurut dia, dari awal pembagian tabung dan aksesori elpiji 3 kg banyak masyarakat yang beranggapan bahwa barang yang dibagikan tersebut long life (dapat dipakai selamanya), sehingga slang dan regulator yang seharusnya tidak dipakai lagi, namun masih dipakai. “Setelah itu, banyak juga warga yang melakukan tindakan yang tidak seharusnya perlu dilakukan, misalnya mencongkel rubber seal,” ucap dia.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi VII DPR RI Sutan Batugana mengemukakan, konversi mitan ke elpiji telah menghemat dana sekitar Rp 21,38 triliun, namun dalam pelaksanaannya terdapat banyak masalah dan bahkan timbul korban jiwa. Sebagai respons tersebut, Komisi VII telah memanggil Dirut Pertamina Karen Agustiawan dan melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk meninjau pelaksanaan kebijakan konversi.

Anggota Komisi VII lainnya, Halim Kalla, mempertanyakan apakah SNI yang selama ini dipakai adalah berdasarkan riset sendiri atau rujukan dari luar negeri, karena banyak produk saat ini yang ber SNI. “Misalnya di Makasar ada pabrik besi yang bercap SNI tapi orang luar nilai itu bukan SNI, jadi bisa dibilang itu cap-capan saja,” pungkas Halim.

Halim mencontohkan, pipa untuk kebutuhan industri banyak yang ber-SNI dan hal itu sah-sah saja, namun seharusnya SNI tersebut juga membutuhkan dua kali sertifikasi, baik dari perindustrian maupun dari perdagangan. “Nah, saya lihat apakah tabung ini disamping butuh SNI juga butuh sertifikasi migas? Karena dalam hal ini juga menyangkut gas, jadi apakah SNI itu berdasarkan kriteria yang ada di sektor migas,” ucap dia.

Sumber : Investor Daily, Senin 5 Oktober 2010, hal. 9.




­