Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Pemerintah didesak tuntaskan revisi SNI 32 pos tarif

  • Senin, 27 September 2010
  • 1136 kali
Kliping Berita
Plastik impor kian kuasai pasar lokal
Oleh: Rudi Ariffianto
JAKARTA: Pemerintah diminta segera menuntaskan revisi standar nasional Indonesia (SNI) untuk 32 pos tarif produk berbasis plastik untuk melindungi pasar domestik dari serbuan produk plastik impor.
Selain dibanjiri oleh produk jadi impor, pasar domestik juga dinilai rentan terhadap tekanan pasar regional, terkait dengan pertumbuhan permintaan produk petrokimia regional yang rendah, kelebihan pasokan, biaya bahan baku yang lebih tinggi dan lemahnya margin kilang.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin Aromatik & Plastik Indonesia (INAplas) Fajar Ad Budiyono mengatakan industri kini resah oleh maraknya produk plastik impor di pasar domestik, bahkan untuk produk low end yang selama ini menjadi pasar produk nasional.
Sebagai contoh, tuturnya, pasar produk seperti terpal plastik, kantong plastik, alat rumah tangga, dan mainan anak kini sudah dibanjiri oleh produk impor. "Kami mengusulkan penerapan safeguard agar pasar produk itu tidak terlalu terbuka seperti sekarang," katanya kemarin.
Fajar mengatakan industri telah meminta pemerintah mempercepat revisi SNI wajib untuk 32 pos tarif agar produk impor tersebut tidak terlalu bebas masuk ke Indonesia. Selain itu, pelaku industri juga mengusulkan penerbitan SNI wajib untuk produk plastik yang belum tersedia.
"Sehingga barang yang akan masuk ada investigasi preshipment dan otomatis akan masuk ke pelabuhan bayar resmi. Ini akan mempersempit kemungkinan masuknya barang secara ilegal," paparnya.
Selain mendapat gempuran produk jadi impor, Fajar mengungkapkan saat ini Indonesia juga menjadi target empuk impor bahan bahan baku plastik, terutama yang berasal dari kilang regional.
Saat ini, impor polimer telah menguasai sekitar 40% dari total pasar yang ada yang nilainya hingga semester pertama 2010 telah mencapai US$1,2 miliar, atau setara dengan impor sepanjang tahun lalu.
"Dengan tumbuhnya permintaan plastik sekitar 6%-7% pada tahun ini, kami perkirakan impor polimer memang akan melonjak dua kali lipat," katanya.
Prediksi itu, kata Fajar, diperkuat dengan adanya rencana penghentian operasi dua kilang polimer untuk pemeliharaan selama 3 pekan. Akibat penghentian operasi itu, pasokan polimer domestik akan menyusut 15% sehingga otomatis akan mendongkrak impor.
"Satu kilang PP [polipropilena] sedang di-shutdown untuk pemeliharaan. Berikutnya akan ada satu kilang PE [polietilena] yang di-shutdown pada November. Total pengurangan pasokan 10%-15% sehingga otomatis impor melonjak. PP saja mungkin mencapai 450.000 ton," ungkapnya.
Skenario sulit
Sementara itu, Business Monitor International (BMI) menyebutkan industri petrokimia Indonesia kini berjuang menghadapi skenario pasar regional yang semakin sulit, berupa tingkat pertumbuhan permintaan lebih rendah dari perkiraan, kelebihan pasokan dan harga bahan baku yang lebih tinggi dan melemahnya margin kilang karena harga minyak mentah yang tinggi.
BMI menyebutkan kesulitan industri petrokimia Indonesia ditandai dengan pengurangan kapasitas produksi Chandra Asri menjadi hanya 80%-90% dari total kapasitas 600.000 ton per tahun mulai pertengahan 2010.
Pengurangan kapasitas tersebut hingga kini belum dapat dipastikan jangka waktunya karena margin operasi yang masih negatif.
Hal ini muncul setelah masa pertumbuhan yang kuat di pasar polimer yang semakin ketat dan harga yang melonjak sehingga industri konsumen meningkatkan persediaan mereka untuk mengantisipasi kenaikan harga lebih lanjut.
Permintaan polimer lokal telah anjlok pada 2009 sebagai akibat krisis ekonomi, meskipun konsumsi domestik dalam perekonomian yang lebih luas relatif baik.
Pengoperasian unit metatesis propilena PT Pertamina pada pertengahan tahun dengan kapasitas 180.000 ton diharapkan meningkatkan ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan kilang.(er)
Sumber : Bisnis Indonesia, Senin 27 September 2010, Hal. i2



­