Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Harmonisasi Standar Elektronik RI di Bawah Target

  • Selasa, 09 Februari 2010
  • 1467 kali

Kliping Berita
MENUJU ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

JAKARTA - Menghadapi kawasan ekonomi terintegrasi di kawasan Asean (Asean Economic Community/AEC) pada 2015, Indonesia masih ketinggalan dalam harmonisasi standar produk manufaktur.

Salah satunya, harmonisasi standar untuk produk elektronik dan elektrik yang dijadwalkan berlaku pada awal 2011.

Dari 199 standar elektronik dan elektrik yang disepakati untuk diharmonisasikan di tingkat Asean, Indonesia baru memenuhi 19 standar, sedangkan 10 standar lagi menyusul dinotifikasi ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO). Padahal, Asean Harmonized Electrical and Electronic Equipment Regulatory Regime (AHEEERR) disepakati oleh seluruh anggota Asean pada 9 Desember 2005.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), pemenuhan harmonisasi standar di Malaysia mencapai 156 produk, Thailand sebanyak 56 produk, Singapura dengan 34 produk, dan Vietnam mengungguli Indonesia dengan 20 produk. Sedangkan Filipina, Brunei, dan Kamboja masing-masing dengan sembilan, tujuh, dan tiga produk.

Kepala Pusat Standardisasi Kemendag Arief Adang menerangkan, kondisi tersebut mirip dengan kepanikan Indonesia menghadapi implementasi kesepakatan perdagangan bebas Asean-Tiongkok (AC-FTA). Pasalnya, lanjut dia, waktu yang tersisa menuju implementasi AHEEERR tinggal 10 bulan lagi.

Menurut dia, kendala Indonesia memenuhi harmonisasi standar produk Asean adalah keterbatasan infrastruktur yakni laboratorium penguji standar. Sementara itu, data Kemendag menunjukkan, jumlah laboratorium Indonesia justru lebih banyak yakni empat unit ditambah satu Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro).

"Untuk mewajibkan suatu standar dibutuhkan ketersediaan infrastruktur laboratorium. Jumlah laboratorium Indonesia memang banyak tapi berpencar semua, tidak terintegrasi untuk memenuhi semua produk seperti di negara Asean lain. Itu masalah yang berputar-putar selama ini, fundamentalnya tidak dikerjakan. Padahal, sebentar lagi sudah 31 Desember 2010. Nanti, kejadiannya bisa seperti AC-FTA, panik," tukas Arief di Jakarta, Senin (8/2).

Pada awalnya, tutur dia, Indonesia baru memiliki enam produk yang berstandar Asean, yakni lampu swabalast, baterai primer, lampu pijar, tusuk kontak, kotak kontak, dan main circuit breaker (MCB/sekering).

"Setelah itu, ada penambahan 23 produk elektrik dan elektronik termasuk 10 di antaranya yang masih dinotifikasi SNI wajib ke WTO. Tambahannya antara lain beberapa produk kabel, luminair, dan produk lampu. Memang masih jauh dari total produk yang telah disepakati. Sebenarnya ada 107 standar produk elektronik dan elektrik di Indonesia yang mengacu pada standar Asean. Tapi, belum bisa diuji karena laboratorium untuk produk itu belum ada di Indonesia. Apakah pengujiannya harus ke negara lain? Itu akan menimbulkan biaya," ujar Arief yang juga chairman Working Group Joint Sectoral Comitee Electric & Electronic Asean.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, Indonesia akan terus mengejar target pemenuhan standar itu agar bisa diimplementasikan sesuai jadwal.

"Mulai akhir 2010, seharusnya jadwal untuk produk elektronik dan elektrik. Untuk itu, yang harus ditanyakan adalah Kementerian Perindustrian. Nanti harus dilihat, bagaimana Indonesia bisa mengejar target dan tentunya kementerian teknis yang seharusnya menyiapkan itu. Tapi, kita juga harus melihat bagaimana negara lain bisa saja mengalami keterlambatan. Yang penting, harus dikejar sesegera mungkin agar tercapai," ujar Mari Elka.

Masih Lemah
Secara terpisah, Ketua Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Ali Subroto mengatakan, untuk memenuhi harmonisasi standar, posisi tawar Indonesia lemah. Pasalnya, ungkap dia, Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk elektronik yang diwajibkan baru untuk kipas angin. Dalam menegosiasikan harmonisasi standar, Indonesia akan cenderung mengikuti posisi negara yang lebih kuat.

"Yang pasti, Indonesia tertinggal dan Kementerian Perindustrian sedang berusaha mengejar. Yang penting, tim Indonesia harus pandai-pandai menegosiasikan harmonisasi standar ini karena pasar kita (Indonesia) sangat besar. Di sisi lain, jika Indonesia hendak membuat suatu standar, tetap harus mengacu pada kesepakatan yang diteken dalam Mutual Recognition Arrangements (MRAs). Selain itu, standar-standar itu juga tidak boleh bertentangan dengan WTO," ujar Ali.

Dia mencontohkan aturan label untuk produk elektronik yang diwajibkan di Indonesia. Menurut dia, dibutuhkan kesepakatan untuk negosiasi untuk pemberlakuan hal serupa bagi produk Indonesia jika masuk ke negara tujuan ekspor. "Apakah aturan itu dihilangkan, atau produk Indonesia harus menggunakan label sesuai bahasa tujuan negara ekspor dan produk impor wajib berlabel bahasa Indonesia," ujar dia.(Damiana N Simanjuntak)

Sumber : Investor Daily, Selasa 9 Februari 2010, Hal. 23 




­