Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Bakal Sulit Pancing Investasi

  • Kamis, 04 Februari 2010
  • 1187 kali

Kliping Berita

Strategi Pemerintah Memperluas Pasar Ekspor


Jakarta, Kompas - Industri China akan lebih memanfaatkan peluang memasok produk siap pakai ke Indonesia daripada memindahkan industrinya ke Indonesia. Oleh karena itu, sulit memancing investasi baru dari China seiring dengan berlakunya Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China.

Kekhawatiran ini mencuat dalam diskusi Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) ASEAN- China, ”Jangan Takut Berunding dengan China”, yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia Jakarta Raya di Jakarta, Rabu (3/2).

Ketua Asosiasi Baja dan Besi Indonesia Fazwar Bujang mengungkapkan, China memiliki 800 perusahaan baja dengan kapasitas produksi dari ratusan ribu ton sampai puluhan juta ton. Total produksi baja China 600 juta ton per tahun atau separuh dari produksi baja dunia.

Di Indonesia, permintaan baja tertinggi terjadi tahun 1997 dengan volume 7,8 juta ton. Angka ini kembali terulang tahun 2007.

”China membuat export destructive strategy (strategi ekspor yang merusak),” ujar Fazwar.

Awalnya, China mengekspor mesin-mesin produksi berharga murah. Saat pasar jenuh dan produksi terus berlimpah, mereka mulai menjual produk akhir dengan harga lebih murah dari bahan baku yang diimpor pembeli mesin untuk memproduksi barang sejenis.

China, kata Fazwar, mampu memproduksi segala jenis barang dengan harga murah. Hal ini karena ada insentif fiskal, administrasi, dan infrastruktur. Oleh karena itu, pemerintah harus tegas memberlakukan berbagai instrumen yang tidak melanggar ketentuan WTO untuk menyaring produk China.

”Salah satunya dengan SNI (Standar Nasional Indonesia). Pemerintah harus tegas memberlakukan SNI agar produk berkualitas yang masuk,” ujarnya.

Melawan raksasa

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno mengibaratkan industri pertekstilan Indonesia ”orang kerdil” yang melawan ”raksasa” China dalam perjanjian perdagangan bebas. Akibatnya, industri tekstil Indonesia yang sudah kepayahan karena sulit mendapat kredit perbankan kini harus menghadapi ancaman produk China.

Dari sisi nilai, Indonesia masuk posisi 10 besar pasar pakaian jadi dunia. Namun, untuk tekstil, Indonesia sudah terpental dari posisi 10 besar dunia akibat pangsa pasar yang terus tergerus.

Ekspor tekstil Indonesia senilai 9,4 miliar dollar AS. Adapun ekspor tekstil China mencapai 185 miliar dollar AS, yang merupakan 58 persen nilai ekspor bersih dari seluruh perdagangan China.

Pemerintah China punya kebijakan merestrukturisasi mesin tekstil setiap lima tahun. Selain itu juga ada jaminan pembiayaan dari dua bank terbesar dan restitusi pajak kurang dari 25 hari. Ini membuat industri pertekstilan China tumbuh pesat.

Untuk menghadapi serbuan produk China, Benny meminta pemerintah lebih mengoptimalkan strategi pertahanan pasar domestik. Di sisi pengusaha, kini mulai mempersiapkan diri menjadikan pasar ASEAN sebagai pasar domestik.

Peluang itu ada karena, menurut Benny, saat ini mengirim barang dari Jakarta ke Vietnam lebih murah daripada dari Jakarta ke Makassar.

Menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady, renegosi terhadap 228 pos tarif akan dilakukan sekaligus menyiapkan langkah pengamanan pasar domestik. Langkah itu antara lain mengawasi perbatasan, mengawasi kepatuhan peredaran barang pasar domestik, dan peningkatan promosi.

”FTA salah satu strategi memperluas pasar ekspor dan mempercepat pengembangan investasi. FTA harus dipandang sebagai upaya membuka isolasi ekonomi dan pengembangan ekonomi daerah,” lanjutnya. (ham)

Sumber : Kompas, Kamis 4 Februari 2010, Hal. 18




­