Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Baja Bakal Merana

  • Jumat, 29 Januari 2010
  • 1538 kali

Kliping Berita

Struktur industri dinilai belum terintegrasi.

JAKARTA — Industri besi baja nasional diperkirakan menjadi sektor yang paling terkena dampak negatif perdagangan bebas ASEAN-Cina (ACFTA). Itu bisa dilihat dari banyaknya pos tarif di industri ini yang dinegosiasikan ulang oleh pemerintah dengan Cina.

Menteri Perindustrian, MS Hidayat, mengakui industri besi baja bisa terkena dampak ACFTA paling serius. Industri ini akan mengalami penurunan kapasitas, pengurangan tenaga kerja, bahkan penutupan pabrik. "Apabila tidak diambil langkah-langkah perlindungan terhadap industri, kekhawatiran itu bisa terjadi," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Dari 228 pos tarif yang hendak direnegosiasi, sebanyak 114 pos berasal dari sektor industri besi baja. Jurnlah pos tarif itu merupakan yang terbanyak dibandingkan sektor-sektor lainnya. Regulasi dan penegakan hukum dianggap jadi kendala ketidaksiapan sektor ini.

Menperin telah memberlakukan beberapa instrumen perlindungan perdagangan seperti antidumping untuk produk baja canai panas (HRC) dari Cina, India, Thailand, Taiwan, dan Rusia. Selain itu, juga telah diberlakukan SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk HRC, seng, baja lembaran. gulungan lapis paduan alumunium-seng, dan besi beton. "Telah diberlakukan juga ketentuan safeguard untuk produk paku serta ketentuan importasi produk besi baja melalui pelabuhan tertentu, termasuk ketentuan IP (importir produsen) atau IT importir terdaftar)."

Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA), Hidayat Triseputro, menilai industri lokal memang masih mengalami sejumlah hambatan yang membuatnya tak siap bersaing. Penyebabnya datang dari luar maupun dalam negeri sendiri.

Hidayat mengungkapkan faktor internal yang menghambat, di antaranya struktur industri yang belum terintegrasi. Alhasil, banyak terdapat celah terjadinya disharmoni yang membuat bahan baku untuk industri ini mesti diimpor. "Selain itu, ketersediaan listrik sebagai pendukung industri masih jadi kendala," tambahnya.

Selain itu, Hidayat mengungkapkan, banyak industri besi baja domestik menggunakan mesin relokasi dari Cina yang mutunya rendah. Akibatnya. industri sulit untuk memenuhi SNI atau peraturan standar internasional. Ini yang menyebabkan 95 person produk besi baja lokal belum memiliki SNI. "Pengawasan regulasi juga masih lemah," kritiknya.

Hidayat mencontohkan Permendag tentang impor besi baja yang belum efektif pelaksanaannya. Menurutnya, selama ini masih banyak besi baja yang kualitasnya buruk masuk ke Indonesia. Padahal, peran pemerintah sangat dominan dalarn implementasi standar di lapangan. "Perlu law enforcement, pemerintah harus menertibkan produk agar konsumen mendapat jaminan kualitas," tambahnya.

Anggota Komisi VI DPR, Dody Reza Alex, berpendapat renegosiasi dengan Cina, sangat mungkin terjadi asalkan pemerintah serius menjalaninya. Selain Indonesia, dia mengungkapkan, Thailand juga meminta hal serupa dengan Cina kendati jumlah pos tarif yang dimintanya jauh lebih sedikit. "Yang harus disadari, itu memang perlu waktu," ucapnya.

Anggota Tetap Kadin Indonesia ini mengungkapkan, DPR mernberi tenggat waktu enam bulan kepada pemerintah untuk negosiasi ulang dengan maksud agar serius dikerjakan. Sambil menggelar perundingan, dia meminta agar pemerintah secepatnya mernperbaiki daya saing produksi domestik.

Misalnya, dengan memperbaiki infrastruktur, regulasi, penyediaan sumber energi yang cukup, dan menurunkan suku bunga perbankan.

Dody menganggap, perbaikan kemampuan industri lokal itu sangat penting untuk rnembendung banjirnya produk buatan Cina. Apalagi, tegasnya, akibat minimnya sosialisasi ACFTA ini banyak pengusaha yang belum siap bertarung di pasar bebas. "Banyak produk Indonesia yang berdaya saing rendah," katanya prihatin. (Teguh Firmansyah)
• cis. ed: budi r

Sumber : Republika, Jum’at 29 Januari 2010, Hal. 14





­