Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

457 Produk China disubsidi

  • Senin, 25 Januari 2010
  • 4225 kali

'ACFTA ancam PT Krakatau Steel'

JAKARTA: Sedikitnya 457 produk strategis China yang tercantum dalam dokumen pos tarif 10 digit (No. HS) pemerintah China diketahui mendapatkan fasilitas subsidi ekspor (export VAT rebate) sekitar 9%-17%.

Data yang diperoleh Bisnis mengungkapkan pos-pos tarif tersebut tercantum dalam dokumen Menteri Keuangan Republik Rakyat China yang mencapai 98 bab.

Fasilitas subsidi ekspor itu resmi diberikan China kepada sektor-sektor strategisnya seperti pertanian, perikanan, obat-obatan/farmasi, dan biomedis.

Di industri manufaktur, China juga memberikan subsidi ekspornya ke sektor makanan dan minuman olahan, petrokimia, keramik, furnitur, alas kaki, besi dan baja, elektronik, mesin, hingga peralatan komunikasi.

Jumlah pos tarif yang mendapatkan subsidi ini berpotensi semakin besar jika dihitung dengan jumlah kelompok pos tarif yang tak diperinci, yakni sekitar 174 kelompok.

Untuk kategori pos tarif No. 72.17 (wire of iron or non-alloy steel), misalnya, China hanya menuliskan kode HS 7217200000- 7217309000. Namun, keterangan lebih jauh terkait dengan perincian jumlah pos tarif di antara kode HS tersebut tak disebutkan. Subsidi yang diberikan China untuk kelompok produk No. 72.17 ini mencapai 9%.

Di dalam dokumen itu, terdapat sekitar 13 kelompok pos tarif sektor besi dan baja yang tidak diperinci. Selain itu, jumlah pos tarif yang tak diperinci ini juga banyak ditemui di sektor mesin dan peralatan yakni sebesar 41 kelompok, elektronik, petrokimia plastik, dan kaca.

Informasi yang diperoleh dari Kementerian Perindustrian menyebutkan China telah memberikan fasilitas export VAT rebate kepada hasil produknya secara masif sejak beberapa tahun terakhir. Peraturan terbaru terkait dengan hal itu dikeluarkan pada 15 Desember 2009.

Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto (Fraksi Partai Golkar) menilai subsidi ekspor yang diberikan kepada produk industri China sebagai praktik perdagangan tak adil (unfair trade) di tengah liberalisasi pasar bebas.

China, jelasnya, dikenal sebagai negara yang memiliki basis industri manufaktur kokoh. Tanpa adanya subsidi, produk manufaktur China telah mampu melibas produk manufaktur lokal karena besarnya produksi yang mereka hasilkan sehingga cost-nya lebih murah.

"Jika subsidi masih ditetapkan, industri di dalam negeri akan hancur karena kalah bersaing," katanya, kemarin.

BUMN diidentifikasi

Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengatakan Kementerian BUMN telah mengidentifikasi sejumlah BUMN yang berpotensi terimbas dampak negatif akibat implementasi ACFTA (Asean China Free Trade Agreement).

Menurut dia, dampak negatif itu mengakibatkan kerugian (injuries) akibat peningkatan impor China secara masif (rush). Selain itu, industri baja di dalam negeri secara umum memiliki masalah internal yang belum dapat dituntaskan hingga tahun ini.

"BUMN yang berpotensi mengalami injuries adalah PT Krakatau Steel (KS). Cuma KS sejauh ini," katanya di dalam raker gabungan lima menteri ekonomi dengan Komisi VI pekan ini.

Dia mengidentifikasi ada empat ancaman besar. Pertama, sebesar 95% produk baja belum memiliki standar nasional Indonesia (SNI) wajib. Kedua, sekitar 75% industri baja nasional default atau gagal bayar di perbankan nasional dan asing.

Ketiga, perangkat counter measures belum siap dan amat lambat. Keempat, industri besi dan baja diperkirakan baru pulih pada 2013.

"Di sisi lain, China menerapkan kebijakan yang amat mendukung industri bajanya seperti export duty untuk bahan baku baja dan untuk finished product," terangnya.

Menurut dia, untuk menyeimbangkan kekuatan dengan China selayaknya Indonesia memiliki kebijakan yang sama.

"Kebijakan ini setidaknya menjadi salah satu bentuk counter measures yang bersifat preventive sebelum masuknya barang itu ke pasar lokal," katanya. (yusuf.waluyo@bisnis.co.id)

Oleh Yusuf Waluyo Jati
Sumber : Bisnis Indonesia, Senin 25 Januari 2010, Hal. 7





­