Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Mengintip teknologi pipa apung karya anak bangsa

  • Senin, 24 Agustus 2009
  • 2633 kali
Kliping berita :

Sampai saat ini, Indonesia masih menjadi importir pipa karet apung (rubber hose atau submarine nose).

Tidak kurang dari 4.500 unit pipa apung senilai Rp1,8 triliun per tahun terkuras untuk mendatangkan produk tersebut dari sejumlah negara maju.

Negara produsen pipa apung yang menjadi langganan Indonesia adalah Jepang. Beberapa di antaranya berasal dari perusahaan ban global seperti Toyo, Dunlop, dan Bridgestone.

Kondisi ini cukup ironis mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki sumber bahan baku melimpah terutama karet sebagai bahan dasar pembuatan pipa apung.

Dari bentuknya, produk ini tampaknya sangat remeh-temeh. Namun, tanpa keberadaan pipa apung, komoditas bernilai mahal seperti minyak, berbagai hasil pertambangan mineral dan pengerukan otomatis tak dapat ditransmisi dari darat ke laut dan sebaliknya.

“Kalau kita mampu membuatnya sendiri untuk apa lagi mengimpor. Bahan bakunya yang berasal dari karet itu juga dihasilkan di negara kita,” kata Direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri Proses, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Samuel Pati Senda.

Pemerintah tampaknya terus memupuk kepercayaan dirinya mengeluarkan berbagai hasil riset industri manufaktur yang hendak ditawarkan kepada dunia usaha. Pipa karet apung menjadi salah satu hasil riset yang telah dimatangkan BPPT untuk segera digunakan di industri pengerukan dan perminyakan, sebagai media alir material dari kapal tanker/keruk ke daratan maupun sebaliknya.

lndonesia sebagai salah satu negara penghasil karet, sedang mengembangkan teknologi karet komposit yang diperlukan untuk industri tersebut dan industri lainnya. Selain itu prasarana untuk uji spesifikasi teknis juga turut dikembangkan, seperti hydrostatic test, bending test, stiffness test, serta burst test.

Mahendra, Chief Engineer Pipa Apung BPPT menjelaskan usaha rekayasa ulang pipa apung yang menyeluruh disiapkan untuk industri produk teknik berbahan dasar karet alami yang diproses menjadi karet komposit.

Sejak Oktober 2006, prototipe pipa apung digunakan untuk uji hodrostatik, yaitu uji kekuatan terhadap tekukan (bending test) dan uji kekakuan (stifness test) di Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS) BPPT.

“Riset pipa apung sebagai produk manufaktur telah dilakukan sejak 2003. Saat ini, pipa apung buatan Indonesia berhasil memenuhi persyaratan Oil Company International Marine Forum (OCIMF)-91. Dalam waktu dekat, SNI [Standar Nasional Indonesia] pipa apung segera dirumuskan,” katanya, di sela-sela pameran teknologi dalam rangka merayakan ulang tahun ke-31 BPPT, kemarin.

Gandeng Ikaba

BPPT tentu tidak bekerja sendiri. Untuk mengimplementasikan konsep pipa apung, instansi ini menggandeng PT Ikaba, anak usaha PT Agronesia. Namun, beberapa masalah terkait dengan efisiensi masih terjadi, di antaranya proses produksi yang memakan waktu cukup lama.

“Satu unit pipa apung yang diproduksi sesuai dengan spesifikasi ideal di PT Ikaba memakan waktu 10 hari. Ini terlalu lama. Ini membutuhkan terobosan agar produksi bisa lebih cepat,” jelasnya.

Pipa apung yang diproduksi tersebut berdiameter dalam sekitar 6–26 inci dengan panjang 6–12 meter per unit. Pipa ini mampu menahan tekanan kerja hingga 20 bar atau mengikuti desain yang dipesan.

Selain karet, produk pipa apung tersebut membutuhkan material pendukung di antaranya kawat baja, kawat sling (kawat berukuran kecil), media pengapung (sponge), dan flanges ansi 150/300. “Pipa apung buatan Indonesia memiliki kandungan lokal sekitar 90%-95%. Hanya karet sintetisnya yang masih diimpor,” jelasnya.

Saat ini, uji coba hasil riset BPPT tersebut mulai diterapkan di sejumlah perusahaan minyak dan pertambangan nasional di antaranya PT Timah dan PT Pertamina.

“Sejauh ini, beberapa pipa apung yang diuji coba tidak mengalami masalah teknis seperti kebocoran,” katanya.

Pengembangan teknologi di bidang karet ini merupakan salah satu kegiatan BPPT. Jika Indonesia sukses memproduksi pipa apung, diharapkan bisa membuka peluang bagi industri nasional untuk menjual produk lokal dengan nilai tambah yang tinggi.

Berdasarkan kajian awal BPPT, untuk membangun industri pipa apung dibutuhkan investasi sedikitnya Rp21 miliar–Rp31 miliar.

Jika permintaan tumbuh sekitar 10%-15% per tahun, titik impas (break event point/BEP) proyek investasi itu mencapai 8,75 tahun dengan inter rate of return (IRR) sebesar 12,8%. (yusuf.waluyo@bisnis.co.id)

Oleh Yusuf Waluyo Jati

Sumber :
Bisnis Indonesia Online
Jumat, 21/08/2009

URL:
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/manufaktur/1id133879.html




­