Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Babak Belur di ACFTA

  • Kamis, 31 Maret 2011
  • 1269 kali
Kliping Berita

Seperti dikhawatirkan, industri di Tanah Air mulai kelimpungan di pasar dalam negeri, hanya setahun sejak berlakunya Perdagangan Bebas ASEAN-China.

Menurut survei Ditjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian di 11 kota besar, sektor yang terpukul akibat gempuran produk impor China antara lain TPT, elektronik, furnitur, logam, dan permesinan.

Sektor ini tidak hanya mengalami penurunan penjualan dan kemerosotan keuntungan, tetapi juga harus mengurangi tenaga kerja. Sampai sekarang juga belum jelas upaya pemerintah untuk mengatasinya.

Saat diluncurkan 1 Januari 2010, ACFTA dijanjikan akan menciptakan situasi saling menguntungkan. Salah satu iming-iming manfaat yang dijanjikan adalah terbukanya akses ke pasar raksasa China dengan 1,3 miliar penduduknya. Indonesia bahkan disebut paling diuntungkan karena peluang peningkatan ekspor ke China diperkirakan lebih besar daripada peningkatan ekspor China ke Indonesia.

Namun, baru berjalan beberapa bulan, satu per satu industri lokal, terutama UKM, rontok. Yang terjadi juga bukan lonjakan ekspor ke China. Ekspor Indonesia ke China memang naik 36,5 persen pada 2010, tetapi kenaikan impor kita dari China lebih tinggi lagi, 45,9 persen. Belum lagi melihat struktur komoditas yang diperdagangkan.

Babak belurnya industri nasional tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang membuka pasar tanpa dibarengi upaya simultan penguatan industri domestik. Sebelum ACFTA pun, pelaku industri lokal sudah menjerit akibat banjirnya produk impor murah China. Dengan adanya ACFTA, pangsa pasar produk lokal kian tergerus.

China mengerahkan segala cara untuk masuk, termasuk dengan memborong Standar Nasional Indonesia (SNI). Sementara pada saat yang sama, restrukturisasi dan revitalisasi industri kita melempem. Kebijakan industri tak jelas. Peta jalan industri juga tak jelas implementasinya.

Tergerusnya daya saing industri lokal bersumber dari buruknya iklim usaha dan minimnya dukungan pemerintah. Hingga kini industri lokal terus bergelut dengan berbagai persoalan klasik, seperti ekonomi biaya tinggi, maraknya pungutan liar, buruknya infrastruktur, seretnya pasokan listrik dan gas, serta kebijakan perpajakan dan perburuhan yang tidak mendukung.

Kebijakan pemerintah juga sering tidak berpihak kepada pengembangan industri domestik. Rezim kebijakan—baik industri, perdagangan, energi, fiskal, maupun moneter—sering kontraproduktif dengan pengembangan industri.

Tak jelasnya arah kebijakan pengembangan industri nasional dan lemahnya proteksi produk domestik yang kian mempercepat deindustrialisasi membuat Indonesia sulit bersaing di pasar domestik dan pasar ekspor serta memaksa beralihnya industriwan menjadi sekadar pedagang. Jika dahulu setidaknya kita masih bisa menjadi ”jago kandang”, kini di kandang sendiri pun kita terdesak. Belum terlambat untuk segera berbenah.

Sumber : Kompas, Kamis 31 Maret 2011. Hal 6




­