Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

PERDAGANGAN BEBAS Impor Menggila, Industri Kian Tergilas

  • Selasa, 29 Maret 2011
  • 1152 kali
Kliping Berita
Pande Radja Silalahi, Ekonom senior CSIS.

JAKARTA (Suara Karya): Dominasi produk impor yang terus menguat di pasar dalam negeri dan sudah menggerus pangsa pasar produk dalam negeri harus diantisipasi secara serius oleh pemerintah.

Apalagi dalam kondisi saat ini, kalangan pelaku industri sudah makin khawatir bakal tergilas dalam kompetisi perdagangan bebas.

"Kalau produktivitas tidak meningkat dan daya saing industri nasional kita rendah, pastinya neraca perdagangan kita terus berubah dan makin mengkhawatirkan," kata ekonom senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi di Jakarta, Minggu (27/3).

Apalagi, diketahui saat ini sejumlah industri kesulitan menghadapi persaingan pasar bebas. Dalam hal ini pemerintah harus segera mengatasi permasalahan yang tengah dihadapi dunia usaha di dalam negeri. Apalagi ini terkait dengan potensi penurunan produksi dan penjualan produk industri nasional yang juga mengancam kelangsungan pekerjaan bagi tenaga kerja dan masyarakat umumnya.

Pande mengatakan, pemerintah harus melakukan tindakan yang lebih terarah agar kekhawatiran terjadinya deindustrialisasi bisa diatasi. Apalagi deindustrialisasi terlihat makin nyata dan ditandai dengan lonjakan produk impor di pasar dalam negeri. "Setidaknya pemerintah pusat harus konsentrasi meningkatkan daya saing industri yang menjadi sasaran untuk ditingkatkan produktivitasnya," ujarnya.

Menurut dia, selama ini masalah infrastruktur menjadi kendala paling dominan bagi upaya peningkatan produktivitas dan daya saing industri nasional. Bahkan kondisi infrastruktur ini sudah menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing produk di Indonesia. "Masalah infrastruktur ini sudah dikeluhkan kalangan dunia usaha selama bertahun-tahun dan belum teratasi dengan baik," kata Pande.

Terkait masalah impor bahan pangan yang juga cenderung meningkat belakangan ini, Pande mengatakan, sebaiknya hanya diizinkan untuk pemenuhan kebutuhan akibat kekurangan produksi di dalam negeri. Dalam hal ini, impor bahan pangan hanya dilakukan untuk mengantisipasi adanya kelangkaan di pasaran. Jadi, bukan untuk mengambil pasar dari produksi petani dan nelayan di dalam negeri. "Apalagi sebenarnya kita tidak melihat adanya penurunan harga yang drastis meski impor dilakukan," ujar dia.

Menurut dia, kegiatan impor, apalagi secara ilegal, sudah merugikan perekonomian Indonesia. Saat ini impor ilegal terindikasi dilakukan importir barang konsumsi dan bahan pangan seperti yang terungkap beberapa waktu lalu. "Jelas, ini tugas utama pemerintah untuk memberantas impor ilegal yang masuk di semua wilayah Indonesia. Jangan sampai ikan yang bisa dihasilkan dari laut di dalam negeri dan daging yang bisa disediakan peternak juga diimpor, apalagi ilegal," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa mengatakan, daya saing industri nasional masih lemah. Untuk menghadapi pelaksanaan perdagangan bebas, termasuk CAFTA, pemerintah diharapkan bisa mendorong dan memfasilitasi upaya peningkatan daya saing industri nasional. Dengan ini, industri nasional bisa bersaing dengan industri negara lain, minimal untuk memasok kebutuhan di dalam negeri yang makin dikuasai produk impor.

"Industri kita hanya bisa memasok untuk kebutuhan dalam negeri atau ke suatu negara. Ini pun sudah makin sulit. Tentunya dengan kondisi ini, industri nasional memang belum bisa bersaing," katanya.

Selain infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) andal, industri di China juga mendapatkan insentif berupa suku bunga kredit perbankan yang rendah dan mendapat pemotongan pajak. Dengan ini biaya produksi industri di China jauh lebih murah dibanding Indonesia.

"Penjualan produk-produk konsumsi seperti telepon genggam, elektronik, sepatu, dan pakaian jadi yang mengendalikan mekanisme pasar. Jadi, yang lebih murah dan berkualitas, bakal dibeli konsumen," ujar Erwin.

Menurut dia, kalangan pengusaha nasional memiliki kecenderungan lebih memilih menjadi pedagang/importir dibanding menjadi industriawan. Apalagi risiko dalam membangun industri manufaktur jauh lebih tinggi. Mulai dari modal, beban produksi hingga masalah tenaga kera/buruh.
 
"Kalau menjadi importir dan pedagang, dengan omzet serupa, tapi tidak harus menanggung risiko bisnis. Untuk itu, perilaku ini harus diubah dengan mendorong daya saing industri dan adanya fasilitasi yang konkret dari pemerintah. China sejak awal telah menetapkan arah yang jelas dengan menciptakan industri yang terintegrasi mulai dari hulu hingga ke hilir," tuturnya.

Terkait hal ini, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, pemerintah akan menyusun regulasi baru tentang perdagangan bebas dengan China. Ini terkait permasalahan 5-10 sektor industri yang merasa dirugikan oleh produk impor dari China. Kelima industri itu meliputi furnitur/mebel, logam dan produk logam, elektronik, permesinan, serta tekstil dan produk tekstil. Selain itu juga industri mainan anak, jamu/kosmetik, dan lainnya.

"Sekarang kita sudah tahu, sektor apa saja yang berkurang produksinya akibat CAFTA. Ini termasuk sebab-sebabnya, dan kita juga mengetahui bahwa barang-barang yang masuk itu kebanyakan standarnya di bawah ketentuan. Kita akan melakukan berbagai upaya, antara lain menggunakan instrumen safeguard (pengamanan pasar)," katanya.

Untuk itu, Hidayat menjelaskan, jika ada perusahaan yang merasa dirugikan atas masuknya barang-barang dari China, maka diharapkan bisa menyampaikan keluhannya dan pemerintah akan melakukan upaya yang diperlukan.

"Kita juga akan melakukan pemeriksaan terhadap harga dan kualitas barang dari China. Jangan sampai terjadi dumping (harga jual ekspor lebih murah dibanding harga jual di dalam negeri). Ini sesuai ketentuan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Saat ini kita hanya bisa mensinyalir jika terjadi dumping," ujarnya. (A Choir/Andrian)

Sumber : SuaraKaryaonline.com, Senin 28 Maret 2011
Link : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=275461




­