Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Deindustrialisasi Kian Nyata

  • Senin, 28 Maret 2011
  • 1073 kali
Kliping Berita

Deindustrialisasi yang telah menjadi kekhawatiran sejak beberapa tahun terakhir kian menjadi kenyataan. Angka statistik bicara banyak soal deindustrialisasi itu, terutama pascapemberlakuan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) pada tahun lalu.

Merujuk hasil monitoring Kementerian Perindustrian, lima sektor industri terpukul oleh implementasi ACFTA karena kalah bersaing dengan produk China. lima sektor industri yang diteliti yaitu elektronik, furnitur, logam dan produk logam, permesinan, serta tekstil dan produk tekstil, terpukul signifikan oleh banjir produk China.

Dilihat dari sektor industri, terjadi penurunan produksi, penjualan, keuntungan, dan pengurangan tenaga kerja, serta peningkatan impor bahan baku, terutama di sektor elektronik dan garmen pascapemberlakuan ACFTA.

Kementerian Perindustrian mengonfirmasikan kekalahan daya saing produk lokal terhadap produk China terutama disebabkan oleh bahan baku yang mahal, pasokan komponen yang kurang, ketidakstabilan dan ongkos energi mahal, serta kesulitan permodalan.

Data perdagangan luar negeri juga memprihatinkan. Berdasarkan data Ditjen Bea dan Cukai, kontribusi impor Indonesia dari China terhadap total impor dari seluruh dunia melonjak 45,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi 15%, sementara rasio ekspor naik 36,5% menjadi 10%.

Yang menyedihkan lagi, data dari Badan Standardisasi Nasional mengungkapkan China sudah membeli 653 standar nasional Indonesia untuk produk elektronik dan kelistrikan, makanan, dan pertanian, sehingga memperkecil hambatan non tarif di pasar domestik.

China bahkan ingin membeli 6.779 SNI yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional, sehingga negara tersebut dapat memproduksi semua produk Indonesia yang telah memiliki SNI.

Alhasil, China sangat cerdas dan sigap dalam mengembangkan strategi industrinya, sekaligus berhasil memadukan dengan strategi perdagangan internasionalnya. Artinya, langkah China jauh lebih maju, strategis, dan visioner.

Sebaliknya, Indonesia keteteran. Strategi ataupun kebijakan industri domestik dan perdagangan internasional tampak kedodoran dan tidak padu.

Jelas bahwa masalah klasik seperti biaya energi yang mahal, pembangunan infrastruktur yang macet, serta biaya tinggi dalam proses bisnis sekaligus ketiadaan visi strategis dan terpadu antara kebijakan industri dan perdagangan menjadi penyebab utama ketertinggalan ini.

Semestinya pemerintah segera cepat memperbaiki kondisi tersebut agar tidak semakin terpuruk. Tidak ada kemewahan waktu untuk terus-menerus berwacana, sementara jurang antara strategi industri dan perdagangan kita – termasuk dukungan dari kebijakan fiskal dan investasi – yang dibutuhkan semakin jauh panggang dari api.

Jika itu terjadi, bersiap-siaplah industri Indonesia untuk angkat koper, dan berkemas mejadi pedagang barang impor dalam jangka panjang.

Sumber : BisnisIndonesia, Senin 28 Maret 2011. Hal 11




­