Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Wapres : SNI Topang Daya Saing UMKM

  • Rabu, 10 November 2010
  • 1075 kali

Kliping Berita

JAKARTA – Indonesia perlu mengembangkan standardisasi produk dan jasa untuk meningkatkan daya saing dalam perdagangan internasional, khususnya pada pelaksanaan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA). Dengan standardisasi ini, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diyakini dapat bertumbuh dengan pesat.

“Pada era globalisasi sekarang ini, kita mesti mempersiapkan diri, khususnya dalam peningkatan daya saing. Dalam jangka panjang, saya kira kualitas dalam perdagangan bukan lagi soal potong harga, tetapi mutu,” kata Wakil PResiden (Wapres) Boediono dalam sambutan pembukaan kegiatan Bulan Mutu Nasional 2010 yang diselenggarakan Badan Standardisasi Nasional (BSN) di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (9/11).

Boediono berharap standardisasi yang dilakukan melalui label standar nasional Indonesia (SNI) tidak melalui proses yang rumit. Dengan proses yang lebih mudah, sektor UMKM diyakini dapat menggunakan SNI agar produk-produk yang dihasilkan bisa bersaing di luar negeri. “Saya menyambut baik upaya BSN untuk meningkatkan mutu,” ujar dia.

Di sisi lain, Kepala BSN, Bambang Setiadi mengatakan, standardisasi semakin diperlukan saat Indonesia melakukan kerja sama perdagangan dengan negara lain. Tahun ini, BSN mendeklarasikan penerapan SNI, yakni gerakan mengajak stakeholder untuk memperkuat daya saing dan memperluas penerapan SNI. “Ini juga untuk mengantisipasi dampak pelaksanaan kerja sama perdagangan internasional dan regional,” kata dia.

Terkait kerja sama ACFTA, BSN telah melakukan standardisasi terhadap 20 industri yang terpengaruh kerja sama perdagangan tersebut. Sektor industri tersebut adalah baja hilir, pertanian dan industri hasil pertanian, petrokimia hulu, tekstil, benang dan kain, alumunium, hortikultura, mesin perkakas, elektronika dan kelistrikan, serat sintetis, furnitur, mainan anak, sepatu/ alas kaki, makanan minuman, plastik, ban, kosmetik, alat kesehatan, kaca lembaran, dan kakao olahan.

Bambang menjelaskan dari 20 sektor industri yang terpengaruh penerapan ACFTA, pihaknya sudah memmberikan 2.058 SNI atau sekitar 30% dari total 6.839 SNI yang telah ditetapkan BSN. Penerapan SNI terbanyak adalah sektor makanan dan minuman  (440 SNI), mesin dan perkakas (156 SNI), tekstil dan produk tekstil (266 SNI), plastik (79 SNI), elektronika dan kelistrikan (159 SNI), benag dan kain (142 SNI), dan alat kesehatan (133 SNI).

Sementara itu, data BSN menyebutkan, total ekspor Indonesia ke Tiongkok terkait ACFTA mencapai US$ 8,7 miliar, dan sebaliknya nilai impor Tiongkok ke Indonesia mencapai US$ 7,5 miliar. Indonesia memeperoleh surplus  US$ 1,2 miliar, dihasilkan terutama dari sektor industri petrokimia hulu, pertanian, dan industri hasil pertanian. (teh)

Sumber : Investor Daily, Rabu 10 November 2010, hal. 20.




­