Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Produk Teruji Pasti Mampu Bersaing

  • Rabu, 05 Agustus 2009
  • 2570 kali
Kliping berita :

Dalam perdagangan bebas, hanya produk teruji laboratorium dan sesuai dengan standar yang akan memiliki daya saing dan mampu bertahan.

Dalam perdagangan bebas, hanya produk teruji laboratorium dan sesuai dengan standar yang akan memiliki daya saing dan mampu bertahan.

Pekan lalu bisa jadi hari yang menyebalkan bagi T Bagus Watu Adji. Pria yang tinggal di bilangan Gunung Batu, Bogor, itu harus mengganti ban sepeda motornya yang pecah gara-gara tertancap paku di jalan. Mau tidak mau, dia harus membeli ban pengganti agar perkerjaan yang menuntut dia mondar-mandir Bogor-Jakarta tetap berjalan lancar.

Tapi, kondisi keuangannya bulan lalu sedang jeblok-jebloknya karena banyak pengeluaran tidak terduga. Otomatis, produk ban yang dibelinya disesuaikan dengan kondisi uang di kantong.

Selain itu, Bagus hanya mengikuti omongan penjual tanpa memperhatikan jaminan kualitas produk ban yang biasanya didapatkan dari label Standar Nasional Indonesia (SNI). ”Soal produk ban yang saya beli itu menyesuaikan kantong saja. Toh bedanya biasanya mungkin tipis-tipis saja dengan yang mencantumkan label SNI. Pasalnya, dari sisi luar kelihatan sama saja,” kata Bagus.


Kosumen seperti Bagus yang masih tak acuh terhadap pentingnya standardisasi produk bisa jadi banyak sekali jumlahnya. Runyamnya, menurut Kepala Badan Standar Nasional (BSN) Bambang Setiadi, di Indonesia tidak hanya konsumen yang masih tak acuh. Sebagian produsen suatu barang dan jasa masih ada yang belum dan tidak mau tahu tentang SNI.

“Padahal nantinya hanya produk teruji dan sesuai dengan standar yang akan memiliki daya saing dalam perdagangan bebas seperti yang sudah terjadi sekarang ini,” kata Bambang. Perdagangan bebas di kawasan ASEAN untuk produk elektrik, elektronik, dan perlengkapannya akan dimulai pada 2011, sementara untuk tekstil dan produk tekstil (TPT) serta otomotif dimulai pada 2015.

Arti daya saing berpijak rumusan Organization for Economic Cooperation (OECD) dan Development, yaitu kemampuan perusahaan, industri, wilayah regional antarnegara, dan negara itu sendiri. Tujuannya mempertahankan tingkat pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan lapangan kerja yang relatif tinggi dalam suasana kompetisi internasional.

Oleh sebab itu, penerapan SNI untuk berbagai produk menjadi semakin penting kedudukannya dalam mendukung peningkatan daya saing nasional. Hal tersebut harus ditunjang pula dengan aspek-aspek teknis-ilmiah, di antaranya melalui teknologi.

Penerapan sistem mutu dan teknologi pengujian, imbuh Bambang, akan menjadi sangat penting, terutama dihadapkan pada kesepakatan dalam perdagangan bebas di ASEAN Free Trade Area (AFTA). Pembatasan produk yang diperdagangkan di suatu negara hanya diperbolehkan melalui mekanisme penerapan standar wajib, sesuai aturan Technical Barrier to Trade (TBT) yang sesuai standar-standar internasional.

“Dalam bahasa sederhana di dunia internasional, standar merupakan alat kedua untuk mempermudah proses perdagangan setelah uang dalam era perdagangan saat ini dan ke depan,” kata Bambang.

Belum Mengacu Standar
Mengingat sebagian besar industri di Indonesia masuk kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), hasil produk barang dan jasa belum sepenuhnya mengacu pada standar. Menurut Bambang, hal tersebut disebabkan banyak faktor, di antaranya modal kecil dan teknologi yang masih sederhana. Artinya, bila parameter kesiapan persaingan produsen lokal dan asing ditinjau dari sistem mutu dan uji laboratorium, banyak yang belum siap.

Ketua Komite Tetap Pendidikan, Pelatihan dan Magang dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono menyatakan penerapan sistem mutu dan teknologi pengujian sepatutnya juga harus melihat kenyataan berbagai permasalahan yang tengah dihadapi perusahaan kecil.

Pemerintah tidak bisa serta-merta memaksakan perusahaan kecil untuk menerapkan kebijakan tersebut. Sebab, butuh investasi yang cukup tinggi untuk dapat mencetak sumber daya manusia (SDM) dan produk berkualitas yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam era pasar bebas.

Kepala Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pudji Winarni membenarkan Handito. Modal dan kemampuan produksi perusahaan kecil tentu juga kecil. Padahal penerapan sistem mutu dan teknologi tidak hanya butuh uang, tapi juga SDM yang mumpuni.

Untuk satu produk saja, kata Pudji, bila menuruti syarat-syarat standardisasi perdagangan bebas, dibutuhkan SDM kompeten, manajemen, dan uji laboratorium. ”Itu tentu akan perlu investasi puluhan juta rupiah untuk melakukan pelatihan SDM dan uji laboratorium barang,” ungkap Pudji. Pasalnya, fokus peningkatan kompetensi SDM, manajemen, dan uji tersebut berorientasi pada kepuasan konsumen.

Pengawasan dan Perlindungan
Walau begitu, kata Handito lagi, perusahaan-perusahaan kecil yang tidak menerapkan sistem mutu dan teknologi pengujian dibiarkan begitu saja. Mereka tentu membutuhkan pengawasan dan perlindungan. ”Sayangnya, bentuk pengawasan barang di Indonesia masih karut-marut,” kata Handito. Masih terlalu banyak pihak yang pingin terlibat dalam pengawasan yang justru merugikan dunia usaha kecil yang notabene selama ini memiliki peran besar dalam perekonomian bangsa.

Sebut saja ada Kepolisian dan departemen teknis (misalnya, Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan). Bentuk pengawasan selama ini cenderung “mencari-cari celah” kesalahan dari kualitas produk yang ada di pasaran. Misalnya, produk barang yang tidak mencantumkan sertifikasi dari suatu badan atau lembaga tertentu dilarang beredar di pasaran.

Padahal bisa jadi suatu perusahaan sebagai produsen barang tersebut belum mampu mengajukan sertifikasi karena sebenarnya tidak gratis.

Oleh sebab itu, upaya penarikan barang di pasaran setidaknya harus ada keberpihakan pada para pengusaha kecil, terutama produk asli Indonesia.

”Mbok ya, produk asli dalam negeri itu dibina agar mereka dapat memproduksi produk yang berkualitas. Bukannya ditarik dari pasaran yang justru dapat membuat bangkrut perusahaan kecil,” ujar Handito. Artinya, para pengusaha kecil itu butuh perlindung semua pihak, mulai dari pemerintah, perusahaan besar, hingga masyarakat sebagai konsumen.

Menurut Kepala Bidang Tata Laksana Pusat Standardisasi Departemen Perdagangan Nana Suryana, perihal pengawasan suatu produk selama ini tidak membeda-bedakan produk dalam negeri maupun luar negeri.

Bentuk pengawasan yang dilakukan Departemen Perdagangan menerapkan prapasar maupun pasar. Pengawasan prapasar ialah pemberian Nomor Registrasi Produk (NRP) untuk produksi dalam negeri dan Nomor Pendaftaran barang (NPB) untuk barang impor. Nomor identifikasi tersebut diberikan berdasarkan pemenuhan produk terhadap persyaratan SNI yang dibuktikan dengan SPPT SNI (Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI).

Bukti SPPT SNI perlu didukung Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang diakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) atau Badan Akreditasi Negara lain yang telah memiliki perjanjian saling pengakuan dengan KAN. Penilaian kesesuaian terhadap barang SNI Wajib, wajib didaftarkan pada Sekretaris Jenderal Departemen Perdagangan. Produk-produk yang dikategorikan SNI Wajib ialah yang terkait unsur kesehatan, keamanan, keselamatan, dan lingkungan (K3L). Misalnya, empat produk hasil industri, yakni helm, gula rafinasi, pupuk, dan tepung terigu untuk bahan makanan.

Dalam pengawasan pasar, bila ada suatu produk dan jasa yang kurang memenuhi standar kelayakan, sebenarnya tidak serta merta ditarik dari pasaran. Ada tahap pembinaan bagi suatu perusahaan yang memang benar-benar tidak mengetahui tentang SNI. Namun, bila ada suatu perusahaan sudah mengetahui namun melanggar, akan dilakukan penarikan barang.

Soal pembinaan, kata Nana, selama ini Departemen Perdagangan bersama Departemen Perindustrian talah mendorong perusahaan besar untuk mendampingi para pengusaha kecil. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan dari perusahaan kecil. Misalnya SNI Wajib helm.


Para pengusaha besar diminta untuk melakukan transfer teknologi agar menghasilkan produk yang terjamin kualitasnya. ”Sehingga nantinya pengusaha kecil helm juga memiliki kesempatan bersaing secara sehat dengan produk helm impor,” pungkas Nana. awm/L-1

Sumber :
Koran Jakarta
Senin 3 Agustus 2009

URL:
http://www.koran-jakarta.com/ver02/detail-news.php?idkat=52&&id=14372




­