Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Kontribusi Industri Manufaktur dalam PDB Akan Terus Meningkat

  • Rabu, 15 Juli 2009
  • 2399 kali
ROADMAP KADIN INDONESIA

KLIPING BERITA

JAKARTA (Suara Karya): Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menargetkan dalam lima tahun ke depan, sumbangan industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) bisa meningkat 1 persen per tahun.

"Di era Orde Baru, kontribusi industri manufaktur naik 4 persen per tahun terhadap PDB. Tapi, dalam beberapa tahun terakhir ini justru turun atau minus 2 persen," kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Riset, dan Teknologi Rachmat Gobel di Jakarta, Selasa (14/7), usai diskusi mengenai "Roadmap dan Visi Pengembangan Industri Alat Angkut dan Elektronik di Indonesia".

Menurut dia, untuk mencapai target ini, Kadin bersama asosiasi dan pelaku usaha terkait sedang menyusun peta jalan (roadmap) pengembangan industri untuk lima tahun ke depan. "Kami akan menyampaikan konsep (pengembangan industri) kepada pemerintah mendatang. Jadi, apa yang ingin dicapai dunia usaha dan dukungan dari pemerintah untuk mencapai target laju pertumbuhan industri dalam lima tahun mendatang," ujarnya.

Dalam lima tahun terakhir, lanjutnya, laju pertumbuhan industri cenderung melambat, bahkan di bawah pertumbuhan ekonomi. Padahal, pada periode sebelumnya, pertumbuhan industri selalu di atas pertumbuhan ekonomi. "Dalam perkembangannya, industri nasional masih mengalami berbagai hambatan, baik bersifat kelembagaan, infrastruktur maupun kebijakan. Dan, krisis keuangan global makin memperparah keadaan yang kurang menguntungkan ini," tutur Rachmat.

Lebih jauh dia menjelaskan, momentum krisis keuangan global bisa dimanfaatkan untuk memperkuat dan menyehatkan industri manufaktur nasional. Salah satunya melalui pemanfaatan seluas-luasnya potensi pasar domestik, peningkatan produktivitas, dan pendalaman struktur industri.

"Perbaikan sektor industri memerlukan grand strategy (strategi utama) berupa kebijakan yang terintegrasi di bidang moneter, fiskal, industri, perdagangan, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan penyediaan infrastruktur penunjang. Juga termasuk energi. Yang tidak kalah penting adalah peta industrialisasi yang lebih terperinci. Ini agar insentif yang diberikan pemerintah bisa tepat sasaran untuk mencapai target pertumbuhan industri," ucapnya.

Rachmat menambahkan, hingga saat ini pemerintah masih fokus pada pengembangan investasi di sektor industri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Akibatnya, seluruh industri yang mengklaim menyerap banyak tenaga kerja minta berbagai macam insentif. Untuk itu, ke depan pemerintah harus lebih fokus memberikan insentif untuk industri yang memberi nilai tambah tinggi, sehingga ada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Lokomotif
Di sisi lain, Rachmat Gobel mengatakan, industri kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor) serta elektonik akan menjadi "lokomotif" pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia. Peningkatan kinerja sektor otomotif dan elektronik bisa berdampak pada meningkatnya perekonomian nasional.

"Hingga saat ini, sektor-sektor ini masih jadi lokomotif industri di Tanah Air dan masih terdepan dibanding sektor industri lainnya. Diharapkan, ke depannya tetap bisa dipertahankan, bahkan lebih ditingkatkan lagi. Melihat cukup pesatnya perkembangan sektor industri alat angkut, termasuk di dalamnya industri sepeda motor, mobil, dan perkapalan serta industri elektronik, maka perekonomian Indonesia akan bisa lebih maju," katanya.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), dan lainnya harus bisa lebih berperan dalam perkembangan industri dan tidak hanya menyerahkannya kepada pemerintah. "Asosiasi ini diharapkan bisa berperan aktif dengan memberikan masukan kepada pemerintah yang belum tentu memahami industri otomotif dan elektronik," tutur Rachmat Gobel.

Terkait hal ini, Ketua Umum Gaikindo Bambang Trisulo mengatakan, Indonesia menjadi negara kedua setelah Thailand yang menjadi tujuan investasi bidang otomotif di kawasan ASEAN. Pada 2008 Indonesia memproduksi 603.774 unit mobil atau masih di bawah Thailand yang bisa memproduksi 615.270 unit. Namun, Indonesia mengalami peningkatan produksi dibanding Thailand, sehingga menjadi salah satu sasaran investasi di bidang otomotif. Sedangkan Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam masih berada di bawah Indonesia untuk produksi.

"Kita kalah dari Thailand karena pendapatan domestiknya lebih besar dan lebih baik dibanding Indonesia. Contohnya, seorang pemuda di Thailand sudah bisa membeli mobil sedan. Sedangkan di Indonesia, seorang pemuda hanya bisa membeli mobil pikap," kata Bambang Trisulo.

Sementara itu, dari data terakhir yang dicatat Gaikindo untuk Januari hingga Mei 2009, Indonesia tergeser ke posisi ketiga setelah Malaysia dan Thailand untuk total produksi selama beberapa bulan terakhir. Hingga Mei 2009, Malaysia mencatat total produksinya sebesar 203.760 unit, Thailand 188.026 unit, Indonesia 169.462 unit, Filipina 49.002 unit, Singapura 38.882 unit, Vietnam 38.311 unit, dan Brunei Darussalam 4.944 unit.

SNI
Di lain pihak, Rachmat Gobel mengatakan, penerapan standar nasional Indonesia (SNI) akan melindungi produk dalam negeri. Dalam hal ini, penerapan SNI untuk semua produk agar dipercepat. "Saat ini saja, misalnya, baru berapa produk elektronik (lampu ballast dan hemat energi) yang ada SBI. Tetapi, penerapannya pun belum sesuai dengan yang diinginkan produsen," katanya.

Menurut dia, SNI telah diterapkan pada produsen yang sudah terdaftar, tapi untuk produk yang di pasaran belum diterapkan. "Produsen setiap tahun dikontrol SNI-nya. Namun produk yang ada di pasaran, baik dari mana asalnya maupun kualitasnya, belum dikendalikan dengan baik," ujarnya. Kondisi ini membuat persaingan tidak sehat karena produk dalam negeri akan bersaing dengan produk yang berkualitas rendah dan tentunya harga murah. (Andrian/Antara)

Sumber : Suara Karya On Line, Rabu 15 Juli 2009
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=231288




­