Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Gedung Tinggi di Yogyakarta Harus Sesuai SNI Gempa Bumi IV

  • Senin, 30 Mei 2016
  • 3946 kali

 

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - 10 tahun pasca Peristiwa Gempa Bumi 27 Mei 2016, kini wajah Yogyakarta telah berubah. Bahkan sejak lima tahun terakhir, gedung-gedung bertingkat tumbuh subur di wilayah rawan gempa bumi ini.

Pada peristiwa gempa bumi yang terjadi selama 57 detik pada 2006 lalu, gedung perkantoran dan fasilitas umum yang berada di Bantul dan Kota Yogyakarta mengalami kerusakan.

Beberapa di antaranya, seperti Gedung Institut Seni Indonesia (ISI) di Jalan Parangtritis Bantul, Gedung Kampus STIE Kerjasama di Jalan Parangtritis Bantul, GOR Amongrogo di Kota Yogyakarta dan termasuk bangunan sekolahan di Bantul.

Kini, pasca gempa berkekuatan 5,9 Skala Richer yang terjadi di DIY dan Jawa Tengah, Yogyakarta telah berbenah. Pembangunan terus berjalan dan muncul wajah baru Yogyakarta berupa bangunan-bangunan bertingkat.

"Sejak sekitar lima tahun lalu wajah Yogya berubah dengan munculnya gedung-gedung bertingkat," ujar Kepala Seksi Kedaruratan BPBD DIY, Danang Samsu saat ditemui Kompas.com, akhir April 2016.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY yang dikumpulkan dari berbagai sumber, bangunan gedung dengan ketinggian 7-11 lantai di Kota Gudeg ini mencapai 42 gedung, yang dalam proses pembangunan 25, dan yang akan dibangunan sebanyak 27.

"Bahkan saat ini di Yogyakarta yang sampai 18 lantai. Kalau gedung lima lantai memang sangat banyak,” ucapnya.

Munculnya gedung-gedung tinggi, sedikit banyak menuai kekhawatiran. Sebab, wilayah DIY terdapat 12 potensi bencana, yakni Banjir, Epidemi dan wabah penyakit , bencana sosial, gelombang tinggi dan abrasi, tsunami, gagal teknologi, kekeringan, kebakaran, letusan Gunung Merapi, kekeringan , tanah longsor dan Gempa Bumi.

Dilihat dari 12 potensi bencana khususnya Gempa Bumi, bangunan yang berdiri di wilayah rawan harus memiliki standar khusus. Terlebih dengan ketinggian belasan lantai sudah seharusnya memiliki standar mengantisipasinya agar bangunan tetap kuat ketika terjadi guncangan gempa.

"Standar konstruksi bangunan di wilayah rawan gempa itu sudah keharusan, misalnya bangunan harus kuat dan lentur ketika ada guncangan,” ucapnya.

Ia mengakui, untuk gedung dengan ketinggian belasan lantai kemungkinan besar perhitungannya lebih matang mengenai kemungkinan -kemungkinan yang akan terjadi, misalnya ketika ada guncangan. Namun untuk gedung yang dibawah belasan lantai, mungkin tidak sedetail yang bangunan tinggi.

"Kalau yang diatas belasan lantai, saya tidak begitu khawatir karena tentu sudah diperhitungkan. Nah yang lima lantai mungkin saja kurang detail ," kata Danang.

Selain itu, para pemilik dari gedung tinggi juga perlu memberikan blueprint kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Blueprint bangunan gedung tersebut berfungsi membantu proses evakuasi ketika sewaktu-waktu terjadi bencana alam. Pasalnya, cara dan kesukitan proses evakuasi gedung bertingkat berbeda.

"Kita sampai saat ini belum menerima salinan blueprint gedung-gedung tinggi di Yogya. Padahal ini penting untuk melakukan pertolongan jika terjadi sesuatu,” ucapnya.

Sementara itu, Sekretaris DPD PHRI DIY, Dedi Prabawa Eryana mengatakan, perijinan pembangunan di DIY khususnya Kota Yogyakarta, harus ada sertifikasi layak fungsi bangunan. Sertifikasi ini sifatnya wajib dan menjadi dasar perizinan di kota Yogyakarta.

"Bangunan diteliti oleh peneliti dan salah satu kriterianya harus tahan gempa, jika tidak lolos ya tidak di mendapat ijin. Penelitinya itu dari universitas atau lembaga yang berkompeten,” tuturnya.

Selain itu, dalam sertifikasi penentuan hotel berbintang, PHRI DIY selalu menanyakan mengenai insfratruktur termasuk petunjuk arah titik kumpul dan tangga darurat. Ditanyakan pula dalam sertifikasi mengenai penanganan ketika terjadi bencana alam atau kebakaran sampai dengan langkah evakuasinya.

"Detail kita tanyakan, terlebih ini demi keselamatan wisatawan jika ada bencana. Jadi kita tidak asal memberikan standar hotel," tandasnya.

Dedi menyampaikan, sejak 2010 lalu PHRI DIY menjadi projek percontohan bagi hotel-hotel di seluruh Indonesia. Sebab, Hotel di Yogya mempunyai standar mengenai kebencanaan.

"Tahun 2010, kita (PHRI DIY) jadi project percontohan PHRI se Indonesia. Kenapa, karena kita punya SOP dan standar hotel diwilayah rawan bencana alam,” kata Dedi

Ditempat berbeda, Warianto Tim Struktur Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, menegaskan untuk gedung yang lebih dari dua lantai di Yogyakarta harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2012.

"Wilayah Yogyakarta itu dikategorikan gempa empat. Jadi semua bangunan yang diatas dua lantai harus mengikuti SNI struktur untuk wilayah rawan gempa empat," kata Warianto.

Guna mengetahui apakah gedung telah sesuai dengan SNI wilayah gempa empat, maka akan ada pihak ketiga yang melakukan kajian penelitian.

"Pihak ketiga ini yang bersertifikasi, bisa dari Universitas atau swasta. Jika lolos , maka gedung mendapat izin untuk di fungsikan," ujarnya.

 

Link berita:  http://regional.kompas.com/read/2016/05/27/10110031/Gedung.Tinggi.di.Yogyakarta.Harus.Sesuai.SNI.Gempa.Bumi.IV




­