Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

BSN Siap Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan Yang Lebih Baik

  • Rabu, 24 Februari 2016
  • 1578 kali

“Undang-Undang ini relatif baru, jaraknya hanya 10 Undang-Undang dari Undang-Undang SPK. Tahun 2014 ini banyak UU yang saya pikir sangat penting. Mari kita cermati. Undang-Undang ini sebenarnya nafasnya sama dengan UU No.20 tahun 2014, sama-sama memberikan kepastian. Salah satu kebutuhan manusia menurut Anthony Robbins adalah adanya kebutuhan kepastian. Dan UU No.30 ini memberikan kepastian bagaimana kita bertindak sebagai aparat pemerintah”, ujar Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), Bambang Prasetya dalam membuka penyuluhan hukum UU No.30 Tahun 2014 di BPPT 2, Jakarta pada hari Selasa (23/2/16). Penyuluhan hukum ini menghadirkan narasumber Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, dan dihadiri oleh segenap pejabat eselon I,II,III,IV, pejabat pembuat komitmen, pejabat pengadaan, pejabat penerima, serta segenap staf terkait di lingkungan BSN.

 

 

“Bila kita ringkas isi Undang-Undang Pemerintahan, isinya itu hanya satu, bagaimana aparatur penyelenggara pemerintahan bisa bekerja dengan benar, memiliki kepastian hukum, dan tidak timbul masalah di kemudian hari”, ujar Zudan.

 

Undang-Undang ini ingin menjadi payung dari seluruh penyelenggaraan pemerintahan. Karena selama ini kita tidak punya rambu apakah yang kita lakukan ini salah atau benar. Kalau salah, koreksinya bagaimana. Kalau benar, bentuk perlindungannya seperti apa. Undang-Undang ini filosofinya adalah melindungi aparatur yang baik dan jujur. Tolak ukur hukum administrasi pemerintahan itu memberikan ruang pada 3 aspek. Pertama, diukur dari aspek kewenangan. Kemudian dari aspek prosedur, dan ketiga diukur dari substansi atau tujuan.

 

 

Dalam kesempatan ini, Zudan memaparkan perbedaan atas sumber-sumber kewenangan. “Kita itu bekerja dalam struktur. Disinilah diatur yang namanya mandat, delegasi, dan atribusi”, ujarnya. Mandat adalah penugasan pelaksanaan tugas rutin yang dilakukan oleh atasan kepada pejabat bawahan. Tindakan yang dilakukan oleh penerima mandat harus menyebutkan atas nama Badan/Pejabat pemberi mandat: ub, an. “Jadi kalau mewakili rapat, rapat itu bukan delegasi, bukan kewenangan mandiri, melainkan atas nama. Mandat adalah apa yang dipegang sebagai kebijakan pimpinan., jelas Zudan seraya memberi contoh.

 

Sumber kewenangan yang kedua adalah delegasi. Delegasi Diberikan oleh Badan/pejabat pemerintahan kepada Badan/pejabat pemerintahan lainnya, ditetapkan dalam peraturan seperti: PP, Perpres, ataupun Perda. Delegasi juga merupakan wewenang pelimpahan atau sebelumnya pernah ada. Sedangkan atribusi merupakan wewenang baru / sebelumnya tidak ada. Atribusi ini diberikan kepada badan/pejabat pemerintahan, serta atribusi ini diatur dalam UUD / UU.

 

Kemudian dari tindakan untuk membuat keputusan, prinsip pertama harus pejabat yang berwenang. Pejabat yang tidak berwenang tidak boleh melakukan hal itu, tidak boleh menandatangani keputusan. Misal Pak Kepala sudah memandatkan deputi untuk membuat keputusan atau tidak. Misalnya atas nama kepala BSN deputi x. kalau sudah ada mandat seperti itu, caranya adalah deputi melaporkan kepada pak kepala, kemudian pak kepala memberikan mandat / acc. Ciri-ciri mandat  adalah selalu ada “atas nama”. Jadi mandat itu dari atasannya, sementara delegasi berasal dari peraturan perundang-undangan di tingkat PP. Didalam kewenangan, yang tidak boleh adalah membuat kewenangan kepada diri sendiri, dengan peraturan yang ditandatangani sendiri.

 

 

Kedua, tindakan kita sah bila dibuat dengan prosedur yang benar. Maka, mekanisme pembentukan/penerbitan keputusan atau pelaksanaan tindakan harus dicek. Selain itu, ketersediaan Standar Operasional Prosedur (SOP) juga perlu dicek. Ketiga, tujuan atau substansi. Apapun yang kita lakukan harus tercapai tujuannya. Artinya perbuatan yang harus dilaksanakan, harus terpenuhi. “Bila harus ceramah, namun tidak melaksanakan ceramah, berarti tidak tercapai tujuannya” jelas Zudan memberi contoh.

 

Sebuah keputusan dianggap cacat bila memuat (1) cacat kewenangan : dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang, (2) cacat prosedur : kesalahan dalam tata cara penerbitan keputusan yang tidak sesuai dengan persyaratan dalam peraturan/standar opreasional prosedur, dan (3) cacat substansi : kesalahan karena materi yang dikehendaki tidak sesuai dengan rumusan dalam keputusan karena adanya konflik kepentingan, cacat yuridis, adanya paksaan fisik dan psikis, ada tipu daya. Bila terjadi demikian, keputusan tersebut harus dikoreksi. Koreksi keputusan dapat dilakukan oleh pejabat yang membuat keputusan, atau atasan pejabat yang bersangkutan, dengan menggunakan asas contrarius actus.

 

 

Dimoderatori oleh Kepala Biro Hukum, Organisasi dan Humas BSN, Budi Rahardjo, penyuluhan hukum ini berlangsung menarik dan interaktif. Hal ini terlihat dari keaktifan para peserta penyuluhan dalam memberikan pertanyaan kepada narasumber.

 

Pada dasarnya, UU Administrasi Pemerintahan merupakan regulasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel dengan memberikan perlindungan kepada penyelenggaraan pemerintahan yang jujur dan baik. Dengan adanya penyuluhan ini, diharapkan perencanaan BSN yang terkait dengan pelayanan publik, dan kewenangan sebagai aparatur pemerintah dapat menjadi lebih baik lagi dan sejalan dengan sistem pemerintahan yang terbaru. (ald – Humas)          




­