Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Edukasi dan Sosialisasi Publik: Implementasi Perjanjian TBT - WTO

  • Jumat, 03 Juli 2015
  • 1480 kali

Moving Picture”, begitulah dunia memandang Indonesia. Sebagai negara berkembang disebut juga sebagai “emerging country” yang  tergabung dalam kelompok G20, G33, APEC maupun forum kerjasama internasional lainnya, Indonesia memiliki peran penting dalam mendukung globalisasi perdagangan dunia. Di samping itu, Indonesia juga merupakan salah satu pasar terbesar di kawasan Asia Tenggara yang konsekuensinya adalah setiap kebijakan perdagangan Indonesia menjadi sorotan negara lain yang mempunyai kepentingan memasarkan produknya ke wilayah Indonesia. Demikian ungkap Bambang Prasetya, Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) dalam sambutannya pada seminar “Edukasi dan Sosialisasi Publik: Implementasi Perjanjian Technical Barrier To Trade – World Trade Organization”, Rabu, 1 Juli 2015 di Jakarta.

 

 

Kebijakan Perdagangan yang dibuat oleh suatu negara banyak menimbulkan hambatan yang cukup signifikan bagi negara berkembang seperti Indonesia yang kesulitan untuk memenuhi persyaratan teknis yang berlaku di negara tujuan ekspor. Keberadaan WTO diharapkan mampu mengeliminasi hambatan-hambatan teknis yang sangat merugikan tersebut, dan sebagai konsekuensinya, Pemerintah harus mempersiapkan strategi kebijakan di bidang perdagangan yang smart dan tidak melakukan diskriminasi terhadap produk yang berasal dari negara lain (Most Favour Nation/National Treatment) sesuai prinsip yang ditetapkan dalam Perjanjian WTO.

 

BSN telah secara resmi ditunjuk sebagai Notification Body (NB) dan Enquiry Point (EP) untuk penerapan Persetujuan Technical Barrier to Trade (TBT) WTO di Indonesia. Fungsi BSN sebagai EP dan NB adalah menyampaikan notifikasi rancangan/peraturan teknis Indonesia ke WTO, menanggapi notifikasi dari anggota WTO serta mempersiapkan dan mengkoordinasikan posisi Indonesia bersama stakeholder terkait untuk isu TBT maupun hambatan teknis lainnya. Dengan demikian, fungsi BSN sebagai NB dan EP sebagai langkah awal membuka akses pasar ekspor Indonesia ke negara tujuan terutama berkaitan dengan standar, regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian yang berlaku di negara tersebut.

 

Produk kehutanan merupakan salah satu sektor ekonomi penting bagi Indonesia. Dengan diimplementasikannya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), ada jaminan bahwa produk hasil hutan Indonesia menggunakan bahan baku Legal. Perjanjian TBT WTO juga memiliki prinsip kesetaraan perlakuan antara produk yang diekspor dengan produk dalam negeri, dalam hal ini yang diimpor masuk ke Indonesia. “Oleh karena itu, dipandang perlu adanya koordinasi yang sinergis antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Unit Teknis lainnya termasuk BSN untuk bersama-sama merumuskan kebijakan perdagangan agar sesuai dengan kaidah perjanjian Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia”, ujar Bambang Prasetya

 

Dalam seminar ini, Kepala Pusat Kerjasama Standardisasi, Erniningsih memaparkan, salah satu manfaat TBT adalah Tidak menciptakan hambatan yang tidak diperlukan dalam perdagangan. Dalam artian, bila regulasi negara lain sangat ketat dari yang seharusnya, eksportir dapat mengajukan keberatan.

 

Salah satu langkah yang telah dilakukan oleh Indonesia yaitu mengajukan keberatan serta meminta klarifikasi atas kebijakan Amerika Serikat Lacey Act yang dinilai sangat memberatkan bagi eksportir karena harus mencantumkan nama ilmiah semua species yang terkandung dalam produk tersebut. Keberatan Indonesia ini telah disampaikan melalui US TBT Enquiry Point serta pada beberapa pertemuan bilateral antar kedua negara.

 

Sekurangnya ada 3 keuntungan yang didapatkan melalui prinsip TBT, yaitu (1) eksportir Indonesia dapat melakukan ekspor ke negara lain dengan standar yang sama (Penggunaan Standar Internasional), (2) ada pengakuan terhadap hasil penilaian kesesuaian negara lain, dan (3) eksportir dapat memprediksi perubahan regulasi di negara tujuan (memudahkan akses pasar).

 

 

Agus Justianto, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan, Kementerian LHK memaparkan, saat ini diperlukan repositioning industri kehutanan Indonesia dalam menghadapi pasar global. Ada 5 faktor yang menyebabkan perlunya repositioning industri kehutanan Indonesia, yaitu (a) Illegal Logging dan Illegal trade, (b) Tata kelola sektor kehutanan Indonesia yang belum optimal, (c) Rendahnya daya saing produk, (d) kesepakatan Bali untuk FLEG dan (e) perluasan isu-isu lingkungan. Untuk itu, diperlukan sertifikasi hutan dalam perdagangan.

 

Sementara itu, Donny Purnomo Januardhi, Kepala Bidang Akreditasi Produk, Pelatihan dan Personel, dari Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN menekankan pentingnya penilaian kesesuaian dan perjanjian saling pengakuan dalam memfasilitasi perdagangan dunia. Dengan adanya penilaian kesesuaian, maka barang, jasa, sistem, proses, atau personel telah dijamin memenuhi persyaratan acuan. Dengan kata lain, penilaian kesesuaian akan membuktikan pemenuhan persyaratan mutu, yang mana mutu sangat diperlukan untuk memenangkan persaingan dalam pasar global.  

 

Dengan adanya perjanjian saling pengakuan (Mutual Recognition Arrangement) , maka barang, jasa, sistem, proses, atau personel yang dinilai telah memenuhi persyaratan acuan oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian yang telah terakreditasi dapat diterima oleh negara-negara lain yang juga sudah menandatangani MRA. Dalam pelaksanaannya, recognition belum tentu diterima oleh negara bersangkutan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengupayakan langkah untuk saling berketerimaan (level of acceptance) antara kedua belah pihak.

 

Untuk menciptakan tertib administrasi impor dan pengawasan terhadap pengadaan produk kehutanan asal impor, serta untuk mendukung dan menjaga kelestarian lingkungan, diperlukan pengaturan dalam kegiatan impor produk kehutanan. Selain itu, pengaturan impor juga berguna untuk menjamin ketertelusuran dan legalitas dari produk kehutanan asal impor. Adapun impor produk kehutanan hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan yang telah mendapatkan penetapan sebagai Importir Terdaftar (IT-Produk Kehutanan) atau Pengakuan sebagai Importir Produsen (IP-Produk Kehutanan). Demikian papar Direktur Impor Kementerian Perdagangan, Muhammad Yani.

 

Seminar ini dihadiri para pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, serta dari  Asosiasi Bidang Kehutanan, yakni dari APHI dan APKINDO. (ald/sekretariat TBT)




­