Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Hadapi pasar global, LPK di Indonesia perlu dikembangkan

  • Selasa, 14 April 2015
  • 1034 kali

Dalam menghadapi era perdagangan bebas terutama menyambut pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 1 Januari 2016 mendatang, peran Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) sangat penting. Penilaian Kesesuaian menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian adalah kegiatan untuk menilai bahwa Barang, Jasa, Sistem, Proses, atau Personal telah memenuhi persyaratan acuan. Selain mendorong peran LPK, pengawasan produk beredar di pasar yang sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) juga perlu ditingkatkan. Demikian dikatakan oleh Direktur Jenderal Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Kementerian Perdagangan RI, Widodo pada Breakfast Meeting Komnas IEC di Jakarta, kemarin (13/04/2015).

 

Namun demikian, persoalan ketersediaan LPK dalam mendukung penerapan SNI, perlu menjadi perhatian yang serius. Pasalnya, usaha laboratorium dan lembaga sertifikasi produk bukan merupakan usaha yang banyak diminati oleh swasta. Tingkat pengembalian investasi (break event point/BEP) yang lama, menjadi salah satu penyebab masih sedikitnya minat swasta untuk berinvestasi di bidang usaha ini.

 

Oleh sebab itu, pemerintah terus mendorong penggunaan laboratorium dan lembaga sertifikasi produk di Indonesia oleh pelaku usaha. Selama ini, kata Widodo, perusahaan yang berkantor pusat di luar negeri, malah sering menggunakan laboratorium maupun lembaga sertifikasi produk yang ada di luar Indonesia. Bila pelaku usaha banyak yang menggunakan laboratorium dan lembaga sertifikasi produk di Indonesia, maka swasta akan tertarik untuk berinvestasi mendirikan LPK itu. Paling tidak, LPK bisa menambah ruang lingkup pengujian atau sertifikasinya, yang tentunya diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).

 

Selama ini, lanjut Widodo, Kementerian Perdagangan telah menginventarisir laboratorium yang ada di universitas. Namun sayangnya, kebanyakkan merupakan laboratorium pangan. Untuk produk lain, masih belum dikembangkan. Atas persoalan ini, Kementerian Perdagangan berencana akan mendiskusikannya dengan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi agar Kementerian ini bisa menambah anggaran untuk memperluas ruang lingkup pengujian.

 

Selain mendorong peran LPK, Widodo juga berpendapat, pengawasan produk yang diberlakukan secara wajib oleh pemerintah, perlu ditingkatkan. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 yang menurutnya ini menjadi induk bagi pengaturan standardisasi di Indonesia, maka pengaturan kegiatan pengawasan pun, juga harus mengacu pada Undang-Undang tersebut. Beliau menilai ,ada 3 undang-undang yang mengatur kegiatan pengawasan. Undang-Undang Perindustrian, Undang-Undang Perdagangan, serta Undang-Undang Standardisasi dan Penilaian Kesesuian. Jika ketiga Undang-Undang ini sama-sama mengatur kegiatan pengawasan, ini akan berdampak pada masyarakat terutama para petugas pengawas di lapangan.

 

 

Widodo setuju jika aturan turunan dari masing-masing undang-undang yang akan mengatur tentang pengawasan terutama pengawasan produk yang diberlakukan secara wajib itu, mengacu pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Dengan begitu, pelaksanaan pengawasan produk beredar di pabrik (Kementerian Perindustrian), di pelabuhan (Ditjen Bea dan Cukai), serta di pasar (Kementerian Perdagangan), akan sinkron dan harmonis sehingga masyarakat bisa melaksanakan standardisasi dan penilaian kesesuaian sesuai yang diharapkan oleh pemerintah.(dnw,nda)




­