Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Kepala BSN: Indonesia Membutuhkan Pejuang Standar dan Pejuang Daya Saing

  • Minggu, 28 April 2013
  • 1881 kali

Indonesia menurut Kepala BSN, Prof. Dr. Bambang Prasetya, ibarat petani yang memiliki lahan luas, subur dengan potensi yang sangat luar biasa. Akan tetapi tidak serta merta menjadi petani yang kaya atau makmur, malah miskin karena dimanfaatkan oleh "pedagang kecil" di pinggir jalan yang mampu melihat peluang sehingga menjadi pedagang yang kaya dan makmur.

Ungkapan dan pesan ini membuka kuliah tamu kepala BSN di hadapan 450 mahasiswa dan dosen Program Studi Teknik Industri Universitas Brawijaya, Malang, Sabtu, 27 April 2013. Kuliah tamu yang mengangkat topik "Standardization as Requirement for World Class Enterprises" ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Industri UB. Hadir dalam kuliah tamu ini, Prof. Dr. Harnen Sulistio (Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya) dan Prof. Dr. Agus Suman (Ketua Lembaga Pengembangan dan Pengkajian  Pendidikan Universitas Brawijaya)

 

Petani ini ungkap Bambang Prasetya, miskin karena bodoh, tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tidak dapat melihat potensi yang dimiliki. "Pedagang kecil" disini adalah Singapura, meski wilayahnya kecil, minim sumber daya alam, tapi berhasil masuk dalam kelompok negara maju dan kaya. Singapura menurut Bambang, bisa demikian karena sektor perdagangan dan jasanya maju sehingga hampir tiap produk yang akan masuk ataupun keluar Indonesia harus melalui Singapura.

 

Kondisi yang dihadapi Indonesia si petani miskin tegas Bambang Prasetya, semakin bertambah berat di era perdagangan bebas ini, dunia sudah tidak ada sekat-sekat lagi, borderless world, dunia sudah datar atau the world is flat, jika meminjam istilah Thomas L. Friedman, sehingga setiap produk dari manapun bebas bergerak kemanapun, free flow of goods and services.

 

Dalam kondisi seperti ini, Indonesia tidak hanya dimanfaatkan oleh "pedagang kecil" tadi tapi juga oleh "pedagang besar kelas kakap". Apalagi Indonesia adalah pasar yang sangat "seksi". Jika sudah seperti ini Indonesia ibarat "kue" yang sudah terbagi-bagi dan menjadi rebutan.

 

Menurut Bambang Prasetya, para pemimpin kita terdahulu sudah mewanti-wanti akan kondisi ini. Soekarno, founding father bangsa ini, tahun 1963 dengan tegas mengatakan "Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa koeli kalau tidak menguasai IPTEK". Ini seperti ungkapan di awal yang disampaikan Bambang Prasetya, Indonesia ibarat Petani miskin tadi meski lahannya luas dan subur.

 

Demikian juga Soeharto, Presiden ke-2 RI, awal tahun 1990 mengatakan "Suka tidak suka Indonesia akan masuk dalam pasar global". Di era Soeharto, Indonesia masuk menjadi anggota WTO dengan meratifikasinya ke dalam UU No. 7 Tahun 1994. Indonesia, lagi-lagi, belum dapat memanfaatkan peluang ini sehingga praktis hanya menjadi pasar ibarat kue tadi.

 

Ungkapan dan pesan ini disampaikan oleh Bambang Prasetya sebagai pelecut semangat bukan untuk menimbulkan pesimistisme. Semangat berjuang untuk memerdekakan Indonesia dari kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan. Jika dulu para pahlawan berjuang hidup mati dengan bambu runcing, kini giliran kita berjuang dengan pemikiran dan aksi nyata, salah satunya menjadi pejuang standar dan pejuang daya saing.

 

Ya pejuang standar dan pejuang daya saing. Untuk maju dan makmur, sebagaimana pesan Prof. BJ. Habibie yang disampaikan oleh Bambang Prasetya dalam kuliahnya, "Kekayaan sumber daya alam Indonesia harus dikelola dengan nilai tambah yang setinggi mungkin melalui penerapan IPTEK. Produk hasil nilai tambah harus senantiasa memenuhi persyaratan minimum kualitas. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengembangkan standar".

Untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain, Indonesia harus menghasilkan produk (barang ataupun jasa). Standar merupakan salah satu alat untuk meningkatkan daya saing produk. Untuk itu, sekarang ini dibutuhkan pejuang standar dan pejuang daya saing. Istilah pejuang standar dan pejuang daya saing ini Bambang Prasetya berikan kepada para akademisi Universitas Brawijaya dan industri di wilayah Malang, yang meluangkan waktu untuk hadir dan berdiskusi dalam kuliah tamu ini, di saat sebagian besar yang lain mungkin sedang berlibur dan menikmati weekend. (Har)




­