Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Standardisasi Dukung Pengembangan Biorefineri

  • Kamis, 11 Oktober 2018
  • 2265 kali

Terobosan teknologi yang sesuai dan sangat signifikan untuk menghadapi tantangan global saat ini telah dipelajari dan diimplementasikan secara parsial dalam dekade terakhir. Salah satunya teknologi biorefineri berbasis biomasa non-pati untuk menggantikan bahan bakar fosil yang dikembangkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan dukungan dari program JST-JICA SATREPS Project. Teknologi ini diyakini dapat mendukung kebijakan Pemerintah  Republik Indonesia tentang optimalisasi penggunaan biofuel untuk sarana transportasi, serta mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).

 

PBB telah menetapkan 17 TPB yang harus dicapai untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Pertumbuhan ekonomi, keterlibatan sosial, dan perlindungan lingkungan merupakan 3 hal yang saling berkaitan dan harus berjalan harmonis untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. “Penggunaan biorefineri berbasis biomasa dapat mendukung tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan karena menggunakan sumber daya terbarukan, menjamin keamanan makanan, serta melindungi ekosistem,” ujar Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang juga selaku project leader Indonesia dalam JST-JICA SATREPS Project, Bambang Prasetya dalam The 5th International Symposium Integrated Biorefinery (ISIBio) 2018 di IPB International Convention Center, Bogor, pada Rabu (10/10). Simposium ini dihadiri oleh para pakar, peneliti, pelaku usaha, serta para akademisi.

 

Bambang menyatakan, teknologi biorefineri memiliki relevansi dalam mencapai TPB, khususnya TPB 2 dalam memberantas kelaparan, TPB 7 terkait energi. TPB 9 terkait industri, TPB 12 terkait tanggung jawab produksi dan konsumsi, TPB 13 terkait iklim, serta TPB 15 terkait pelestarian lingkungan dan menjaga ekosistem.

 

Pengembangan teknologi biorefineri pun tidak dapat terlepas dari kegiatan standardisasi.”Dimulai dari metode pengujiannya harus berdasarkan standar, proses produksinya juga menggunakan standar untuk mengurangi biaya, sistem manajemennya lingkungannya memenuhi persyaratan SNI ISO 14000, hingga kompetensi penelitinya pun tidak terlepas dari lingkup standardisasi,” jelas Bambang

 

Dalam kesempatsan ini, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Enny Sudarmonowati mengatakan, pengembangan teknologi biorefineri untuk mengubah biomasa menjadi biofuel dan produk kimia lainnya menuntut adanya perhatian pada tiga komponen penting, yaitu pengembangan tenologi pretreatment biomasa, pengembangan teknologi produksi enzim sebagai komponen katalisator, serta pengembangan teknologi fermentasi dan reaksi terpadu.

 

Ia mengungkapkan jika komponen tadi dapat dipadukan dengan komposisi sumber daya lokal, maka proses produksi akan berjalan lebih efisien sehingga menurunkan biaya produksi. “Produksi energi alternatif bisa berbiaya murah dan terjangkau, terlebih saat ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan B20 yang mendukung sektor energi alternatif,” jelasnya.

 

Diharapkan, teknologi biorefineri ini dapat terus dikembangkan melalui jalinan kerja sama yang lebih luas, termasuk dalam hal berbagi pengetahuan terkait bidang bioproses biorefineri, baik antara sesama peneliti.Indonesia maupun dengan peneliti dari luar negeri serta dengan sektor industry. (ald-Humas)