Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

BSN Dukung Pengembangan Standar Photovoltaic

  • Jumat, 06 April 2018
  • 2831 kali

Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi Badan Standardisasi Nasional (BSN), I Nyoman Supriyatna, menerima audiensi dari Physikalisch-Technische Bundesanstalt (PTB)-Institut metrologi nasional Jerman di Gedung BSN, Kamis (5/4/18). Hadir dalam audiensi ini adalah konsultan dari PTB,  Timothy Walsh dan Alex Inklaar.

Audiensi ini merupakan tindak lanjut perjanjian kerjasama antara PTB dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, dengan proyek “Strengthening Quality Infrastructure with an Emphasis in Energy Sector”, yang menitikberatkan pada implementasi standar tentang photovoltaic. Photovoltaic adalah suatu sistem atau cara untuk mentransfer radiasi matahari atau energi cahaya menjadi energi listrik. 

 

Nyoman menyambut baik audiensi ini. Nyoman pun berharap para utusan dari tiap pusat di lingkungan BSN yang turut hadir dalam audiensi ini dapat meningkatkan pemahamannya dalam pengembangan dan penerapan standar di Indonesia.

Dalam kesempatan ini, Nyoman menyampaikan bahwa saat ini BSN telah memiliki sekitar 10.000 SNI, namun yang diberlakukan wajib baru sekitar 200 SNI. “Saat ini penerapan SNI sukarela masih perlu ditingkatkan lagi. Untuk itu, Kami terus mendorong para stakeholder untuk menerapkan standar yang telah ditetapkan, termasuk ke depannya terkait standar yang sedang dikembangkan perihal photovoltaic,” tegas Nyoman.

 

Konsultan PTB, Alex menyampaikan prinsip-prinsip dalam pengembangan standar. Ada beberapa prinsip dalam pengembangan standar, diantaranya keterbukaan, tranparansi, konsensus, representasi yang seimbang, koheren, relevan, tidak memihak,” ujarnya. 

 

Alex menyampaikan bahwa diantara prinsip pengembangan standar, yang paling penting adalah adanya keterbukaan..”Jika tidak ada keterbukaan, maka  tidak mungkin tercapai standar yang relevan bila dalam prosesnya tidak ada keterbukaan,” tegasnya. Alex pun mengingatkan bahwa standar yang ditetapkan harus sesuai dengan regulasi pemerintah. "Jika regulasi pemerintah berbeda dengan standar yang ditetapkan, maka standar menjadi tidak ada nilainya," tegas Alex.

Suatu standar yang sudah ditetapkan bukanlah produk yang benar-benar final. Standar hanyalah dokumen yang perlu dikembangkan setiap saat. “Itulah mengapa standar harus direview setiap 5 tahun sekali, jelas alex.

 

Sementara, Timothy Walsh menyampaikan perkembangan standar terkait photovoltaic. Menurutnya, saat ini sistem photovoltaic di Indonesia yang belum berfungsi dengan baik karena kurangnya kualitas dalam komponen dan saat pemasangan sistem ini.

 

Timothy berharap, melalui kerja komite teknis  27-03,  kualitas sistem dan instalasi photovoltaic di Indonesia dapat meningkat. “Dengan adanya standar terkait photovoltaic, diharapkan penggunaan energi matahari di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang,” ujarnya. (ald-Humas)