Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Kelola Keberagaman, Teguhkan Keindonesiaan

  • Rabu, 16 Agustus 2017
  • 3207 kali

Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke-72 pada tahun 2017 ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjalanan Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Dengan berbagai capaian pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk menurunkan jumlah penduduk miskin, dan pengangguran, serta pertumbuhan ekonomi dan investasi, masih banyak hal yang perlu dibangun dan diperbaiki oleh pemerintahan saat ini yaitu persoalan kebangsaan

 

Dengan semangat "Kerja Bersama" menyambut peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-72, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyelenggarakan Dialog Kebangsaan dengan para Presiden RI terdahulu yaitu B.J. Habibie (Presiden Indonesia Ke-3), Megawati Soekarnoputri (Presiden Indonesia Ke-5), dan Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden Indonesia Ke-6) di Auditorium LIPI, Jakarta, Selasa 15 Agustus 2017. Dialog kebangsaan ini bertujuan untuk mendiskusikan strategi “Mengelola Keberagaman, Meneguhkan Keindonesiaan”.

 

Wakil Kepala LIPI Bambang Subiyanto dalam sambutannya menjelaskan bahwa Dialog Kebangsaan ini merupakan salah satu upaya LIPI dalam berkontribusi mewujudkan Indonesia yang mandiri, adil, makmur, dan memperkuat jalinan persatuan dan kesatuan Indonesia. ”Dialog ini bukanlah dialog antar fraksi atau golongan, tetapi lebih merupakan diskusi antar ahli, ilmuwan, dan pakar” ujar Subiyanto. Dialog ini juga diselenggarakan dalam rangka peringatan ulang tahun Emas LIPI.

 

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir sangat mengapresiasi kegiatan yang diinisiasi oleh LIPI ini. “Kegiatan ini merupakan Presidential Lectures karena mampu menghadirkan 3 orang Presiden Republik Indonesia sebagai narasumber,” ujar Nasir saat membuka Dialog Kebangsaan.

 

Pada kesempatan pertama, Megawati Soekarnoputri menyoroti bahwa ilmu pengetahuan merupakan penanda maju mundurnya suatu bangsa bahkan suatu peradaban. Kita bisa belajar dari sejarah, begitu banyak bangsa di dunia ini yang dulu begitu besar namun saat ini hanya tinggal sejarah belaka. Bangsa Mesopotamia dan Romawi contohnya.

 

Untuk itu dengan ilmu pengetahuan inilah seharusnya kita bangun Indonesia. “Meminjam istilah Bung Karno, jika kemerdekaan Indonesia itu diibaratkan sebagai ‘jembatan emas’ maka apa yang akan kita lakukan di seberang ‘jembatan emas’ tersebut?,” tanya Megawati kepada seluruh peserta.

 

“Kita harus membangun sebuah negeri yang luar biasa. Sebuah negeri yang dikagumi oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini. Dan di situlah ilmu pengetahuan berperan penting,” tegas Megawati.

 

Berbeda dengan Megawati, B. J. Habibie Presiden Indonesia Ke-3 lebih menyoroti pada faktor-faktor yang mampu menjaga kehidupan berbangsa bernegara. Pertama adalah kesadaran setiap individu Bangsa Indonesia bahwa kita memiliki satu kesatuan bahasa yaitu Bahasa Indonesia.

 

“Bahasa adalah satu-satunya jalan menyampaikan informasi antar manusia,” papar Bapak Teknologi Indonesia BJ Habibie.

 

Faktor kedua, menurut Habibie adalah kesadaran akan adanya kesatuan nilai. Meskipun Indonesia terdiri dari berbagai suku namun memiliki satu kesadaran akan nilai-nilai yang dianut sebagai sebuah bangsa.

 

Lebih lanjut Habibie menjelaskan faktor ketiga yang menjaga rasa kebangsaan kita yaitu kesadaran secara politik atau political will dari setiap individu bahwa dirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Kita harus bersyukur bahwa kita masih dianugerahi rasa persatuan dan kesatuan di bawah payung Indonesia,” tegas Habibie menutup paparannya.

 

Di segmen terakhir, Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Indonesia ke-6 yang akrab dipanggil SBY dalam paparannya menyoroti pentingnya sikap saling menghormati antar insan Indonesia untuk meredam gejolak yang timbul dalam mengelola keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


“Mengelola keberagaman tidak hanya cukup dengan sikap toleransi. Tidak hanya cukup dengan mengembangkan sikap tenggang rasa. Namun harus menumbuhkan sikap saling menghormati. Sikap menghargai antar komponen bangsa, ini yang harus ditumbuhkan,” ujar SBY.

Selain itu, SBY mengingatkan seluruh peserta bahwa Indonesia haruslah menjadi negara maju. Indonesia bisa lepas dari jebakan “Middle Income Trap”. Namun hal tersebut membutuhkan syarat yang tidak mudah yaitu sikap optimistik seluruh anak bangsa.

 

Menurut SBY, Indonesia sangat berpotensi menjadi negara maju yang adil dan makmur. Hal ini bisa dilihat dari berbagai indikator antara lain pertama, usia Indonesia masih cukup muda (Young Country). Kedua, Indonesia memiliki potensi yang besar baik dari sisi sumber daya alam maupun dari sisi sumber daya manusia. Ketiga, Indonesia selalu mampu keluar dari berbagai krisis.

"Saya punya keyakinan pada saatnya kita bisa, Indonesia is still a young country, kita selalu bisa keluar dari krisis. Potensi dan resources kita besar, kita dapat memanfaatkan itu dan terus bertransformasi baik negara maupun manusianya,” tegas SBY.

 

Namun demikian, tambah SBY, tanpa perjuangan dan ikhtiar seluruh anak bangsa, cita-cita tersebut akan pupus. "Untuk itu mari kita bangun bersama semangat Indonesia Bisa. Mari kita perjuangkan dan ikhtiarkan bersama cita-cita Indonesia Maju sebagai mana termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945,” pinta SBY di akhir paparannya.

Dialog Kebangsaan ini dihadiri oleh para pejabat eselon 1 dan 2 dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (ristekdikti) serta LPNK dibawah koordinasi Kementerian Ristekdikti. Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), Bambang Prasetya turut hadir dalam Dialog Kebangsaan ini,