Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Pentingnya Listing LPK di Tingkat ASEAN untuk Mengurangi Hambatan Teknis Perdagangan Sektor Peralatan Listrik dan Elektronika, Dibahas dalam Sidang ke-23 JSC EEE

  • Selasa, 11 April 2017
  • 4149 kali

 

ASEAN Economic Community (AEC), yang telah berjalan sejak 2 tahun lalu memungkinkan sinergi dalam pasar regional dan basis produksi melalui arus bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja dan modal. Dalam mengupayakan terwujudnya AEC, Joint Sectoral Committee for Electrical and Electronic Equipment (JSC EEE) berperan penting dalam menghapus hambatan teknis perdagangan sektor  peralatan listrik  dan elektronika melalui harmonisasi standar dan implementasi  ASEAN Sectoral Mutual Recognition Agreement on Electrical and Electronic Equipment  (ASEAN EE MRA) and ASEAN Harmonized Electrical and Electronic Equipment Regulatory Regime (AHEEERR).

Sidang JSC EEE ke-23 diselenggarakan di Siem Reap, Kamboja pada 3-6 April 2017. Mr. Chan Sopha, Deputy Director General of Institute of Standards Kamboja dalam pembukaannya menyatakan masih banyak  pekerjaan yang perlu diselesaikan, antara lain transposisi AHEEERR, prosedur  penilaian kesesuaian berbasis Risk Assessement, pendaftaran lembaga penilaian kesesuaian, serta harmonisasi standar dan regulasi teknis,  sesuai dengan komitmen dalam action plan JSC EEE selama tahun 2016-2025.

Delegasi RI dipimpin oleh Chandrini M. Dewi, Direktur Standardisasi dan Pengendalian Mutu Kementerian Perdagangan, dengan anggota delegasi berasal dari perwakilan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian ESDM, Sekretariat Designating Body Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia (ALSI).

Topik penting yang dibahas adalah yaitu kelanjutan pembahasan step by step prosedur sertifikasi tipe 1b dan tipe 5.  Harmonisasi step by step sesuai ISO/IEC 17067 diperlukan agar Negara ASEAN mengikuti prosedur yang sama dan memberikan kepercayaan dalam keberterimaan dari Certificate of Conformity (CoC).

Selain itu dibahas pula pendaftaran Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) di ASEAN. Dengan menjadi LPK terdaftar dalam kerangka ASEAN EE MRA, sertifikat hasil uji dan sertifikat produk peralatan listrik dan elektronika yang diterbitkan LPK tersebut dapat diterima di seluruh negara anggota ASEAN, dan tidak diperlukan pengujian/sertifikasi ulang.  Dengan memanfaatkan skema keberterimaan tersebut, biaya ekspor produk peralatan listrik dan elektronika ke Negara ASEAN dapat ditekan.

Hingga pertemuan ke-23 ini, tercatat 31 LPK di ASEAN yang terdaftar di JSC EEE dan diunggah di website ASEAN, terdiri dari 22 laboratorium uji dan 9 Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). LPK yang berasal dari Indonesia terdiri dari 6 laboratorium uji, yaitu Balai Pengujian Mutu Barang (BPMB), PT. Hartono Istana Teknologi – HIT, PT. Panasonic Manufacturing Indonesia, Balai Besar Barang dan Bahan Teknik (B4T), PT. Qualis Indonesia, Sucofindo Laboratory serta 5 Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro), yaitu Sucofindo International Certification Services (SICS), TUV Rheinland Indonesia, Balai Sertifikasi Industri (BSI), TUV Nord Indonesia dan Balai Sertifikasi Kemendag (LSPro PPMB).

Terkait pendaftaran 2 (dua) LPK Indonesia ke ASEAN yang dibahas pada Sidang ke-23, yaitu LSPro PT. TUV Nord Indonesia dan expansion scope LSPro SICS, terdapat penolakan dari Singapura dan Filipina. Hal tersebut disebabkan perbedaan tipe sertifikasi antara LPK Indonesia dan regulasi negara tujuan

Dalam hal ini, ASEAN Secretariat memberikan penjelasan bahwa pengajuan pendaftaran LPK dalam rangka keberterimaan EE MRA yang sedang berjalan saat ini mengikuti regulasi negara tujuan. Dianalogikan dengan pengajuan pendaftaran LPK kepada suatu negara, hanya untuk lingkup yang diregulasi di negara tujuan. Oleh karena itu, tipe sertifikasi yang akan diajukan juga mengikuti tipe sertifikasi negara tujuan.

Dengan demikian, untuk meningkatkan jumlah LPK Indonesia yang terdaftar di Negara ASEAN, dan menghindari kasus penolakan pendaftaran LPK Indonesia oleh Singapura dan Filipina, maka LSPro Indonesia perlu didorong untuk untuk mengajukan akreditasi kepada KAN dengan tipe sertifikasi sesuai negara tujuan, misalnya Singapura dengan tipe 1a, Filipina dengan tipe 1b atau 5. Disamping itu, diperlukan revisi lampiran akreditasi KAN berupa tambahan informasi mengenai tipe sertifikasi yang diterapkan LSPro.