Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

FORTIFIKASI DALAM GLOBALISASI

  • Kamis, 05 Maret 2009
  • 3285 kali
FORTIFIKASI  DALAM  GLOBALISASI 
Oleh Kusmayanto Kadiman

Jika globalisasi dianalogikan sebagai peperangan, amat relevan menyitir pernyataan Machiavelli, ”Wars begin where you will, but they do not end where you please”.
Abhisit Vejjajiva, Perdana Menteri Thailand dan Chairman ASEAN, dalam pidato pembukaan KTT Ke-14 ASEAN, Sabtu (28/2), mengkritik kerangka acuan Badan HAM ASEAN yang lebih mengutamakan promosi (”Kawasan yang Menindas Warganya”, Kompas, 1/3). Hal ini tak sejalan dengan Piagam ASEAN yang memberi arah perlunya penyeimbangan promosi dengan proteksi.
Promosi dan proteksi perlu ditelaah lebih jauh. Promosi adalah bagian terpenting gerakan globalisasi agar produk dan layanan dari negara produsen dapat dikenal, lalu diserap pasar di negara-negara lain secara global.
Globalisasi ini terus bergulir nyaris tak terbendung meski banyak pakar mengingatkan ancamannya. Bahkan, para pemenang Nobel Bidang Ekonomi, seperti Stieglitz dan Krugman, gencar melontarkan kritik untuk mitigasi tsunami ini akibat kontraksi berlipat dan pembengkakan kapasitas.
Korban sudah berjatuhan dan hikmah banyak dipetik dari krisis finansial global yang notabene adalah buah pahit globalisasi. Roger de Weck menulis, ”The West plucks the choicest fruits of globalisation”. Artikel Paul Krugman mengemukakan, ”Bad Faith Economics”.
Jika ditelusuri dalam sejarah, artefak globalisasi ini dapat ditemui sejak perjuangan di Eropa yang berupaya keluar dari masa kegelapan (dark age) yang populer dengan istilah renaissance. Juga akan ditemukan konsep yang dikenalkan Karl Marx, Das Kapital, yang walau teorinya banyak digemari, membuka peluang untuk disalahtafsirkan menjadi eksploitasi modal yang berlebihan untuk memberi nilai tambah. Muncul kemudian inisiatif valorization yang populer di Perancis dan Belanda yang intinya memberi nilai tambah pada produk dan layanan.
Perang Dingin AS versus Uni Soviet telah digunakan sebagai pembenaran penggunaan anggaran belanja untuk pertahanan dalam melakukan inovasi teknologi dalam upaya membangun daya saing dan berperan dalam pengguliran roda globalisasi.
Dalam salah satu pertemuan akbarnya, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia menerbitkan risalah berjudul Menutup Diri atau Melawan Arus Globalisasi Bukanlah Opsi yang Realistis.
Setelah merasakan pahit getirnya globalisasi yang membuahkan krisis finansial global, kata proteksi yang menjadi salah satu nilai luhur dalam Piagam ASEAN kembali mencuat ke permukaan. Proteksi tidak jarang dipandang sebagai pelanggaran atas perjanjian perdagangan bebas yang telah disepakati dalam WTO. Kiat proteksi seperti apa yang tidak melanggar perjanjian dan tidak berbuntut situasi kalah-kalah?

Fortifikasi dalam proteksi
Fortifikasi semula hanya dikenal di sektor pertahanan untuk melindungi kawasan dari invasi musuh. Di Indonesia kita mengenal banyak benteng pertahanan sejak zaman Majapahit, Mataram, dan Sriwijaya. Begitu pula pada zaman pendudukan Portugis, Belanda, dan Jepang.
Namun, kini fortifikasi tak sebatas pemakaian untuk pertahanan militer. Kita telah terbiasa dengan istilah fortifikasi iodium dalam garam konsumsi. Fortifikasi zat besi, seng, thiamin, dan asam folat dalam susu formula, fortifikasi vitamin-A dalam minyak goreng dan lainnya, hingga pada isu kontroversi pencabutan standar fortifikasi tepung terigu.
Secara elegan, fortifikasi telah diterapkan dan tidak dipandang sebagai proteksi berlebihan yang bertentangan dengan semangat globalisasi, khususnya perdagangan bebas, baik yang bersifat bilateral, mulilateral, maupun globalisasi. Kini fortifikasi telah dituangkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Label halal yang digelar MUI juga manifestasi fortifikasi.
Promosi terus-menerus tentang label SNI dan halal telah mampu menunjukkan hasil, yaitu menjadikan produk dan layanan karya anak negeri menjadi pilihan. SNI adalah wujud nyata fortifikasi yang memberi proteksi yang nyaman pada produsen dan pasar dalam negeri terhadap gempuran masif globalisasi. Fortifikasi pangan dan produk serta layanan kesehatan adalah kerja cerdas Indonesia dalam menyikapi globalisasi.
Semangat dan gerakan membangun industri pertahanan RI juga merupakan perwujudan fortifikasi yang secara cantik mengombinasikan tiga unsur utama: pembangunan pertahanan dengan faktor-faktor kerahasiaannya agar tak dikenal musuh; peningkatan kemampuan dan kapasitas industri Tanah Air yang bermuara pada pembangunan ekonomi; serta peningkatan harkat dan harga diri bangsa. Upaya ini bagai perjuangan ”M16 menghasilkan 16M”. M16 adalah senjata ringan semiotomatis buatan AS yang populer di kalangan TNI. Adapun 16M adalah istilah pasar untuk 16 miliar.
Dengan semangat perjuangan ini, kita akan melihat banyak alat utama sistem senjata, alat komunikasi elektronik, kendaraan taktis, kendaraan tempur, kapal patroli cepat, kapal tempur, pesawat pengintai, pesawat angkut, senjata organik TNI/Polri, kendaraan lapis baja, sarana dan prasarana pertahanan, serta keamanan ketimbang produk impor.

Untuk Indonesia
Fortifikasi berupa standar sesuai SNI, baik yang berbasis postur fisik TNI/Polri, kondisi medan, serta keunikan alam, seperti kelembaban, curah hujan, kontur permukaan, dinamika air sungai dan laut, serta perilaku petir Khatulistiwa. Itu semua merupakan keunikan NKRI yang berpotensi menjadi penentu kemampuan tawar yang dituangkan sebagai fortifikasi yang diwujudkan dalam label SNI.
Konversi penggunaan minyak tanah ke LPG meski masih kental bernuansa produk impor juga layak dikategorikan sebagai fortifikasi terhadap rakyat dan pasar dalam negeri dalam upaya melindungi dari ketergantungan pada minyak tanah yang dinilai amat mahal, khususnya dalam menyerap APBN berupa subsidi. Sebuah perjuangan luhur untuk keluar dari perangkap membelanjakan uang rakyat untuk hal yang tidak perlu.
Ninok Leksono (”Iptek, Politik dan Politikus”, Kompas, 25/2) dan Ary Mochtar Pedju (”Revolusi Pengetahuan, Politik, dan Kemiskinan”, Kompas, 27/2) juga secara tidak langsung menganjurkan fortifikasi sebagai kiat untuk Indonesia tidak hanyut dalam tsunami globalisasi, bahkan menjadi pemain aktif yang meraup keuntungan dari asas perdagangan bebas.
Kedua penulis itu memanfaatkan momentum pesta demokrasi agar ada keberpihakan politik dan politikus pada peningkatan kemampuan dan kapasitas iptek yang mengalir sampai muara pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan rakyat miskin.
Fortifikasi dalam globalisasi ini jika dilakukan sebatas domain iptek dan ekonomi akan sukses, tetapi hanya berupa riak kecil dalam dinamika pembangunan Indonesia. Sukses yang dicapai tidak akan mampu mencapai cita seperti diamanahkan para tokoh kemerdekaan RI, yaitu menjadikan Indonesia sebagai Tamansari Internasional. Sikap politik dan keberpihakan politikus pada fortifikasi adalah kunci sukses menggapai cita-cita luhur.
Masyarakat madani (civil society) dengan kredo ”Aku Cinta, Beli, dan Pakai Produk Indonesia” menjadi pelengkap kesempurnaan fortifikasi dalam globalisasi.


Kusmayanto Kadiman Menteri Negara Riset dan Teknologi
Sumber : Kompas, 4 Maret 2009