Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Dunia Butuh Standar Pengukuran Karbon

  • Selasa, 01 Juni 2010
  • 2158 kali

Konferensi Perubahan Iklim, Deforestasi, dan Standardisasi di Bali



Hutan merupakan salah satu faktor yang paling penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (Greenhouse Gases – GHG ). Di sisi lain, deforestasi dan degradasi hutan saat ini berkontribusi sebesar 20 persen sebagai penghasil emisi gas rumah kaca. Sehingga metodologi mengukur dan menghitung stok karbon hutan serta deforestasi menjadi hal yang sangat penting, karena dapat menjadi penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk mengkonsolidasikan semua variasi metodologi agar diperoleh satu metode yang dapat digunakan bersama sebagai standar nasional atau internasional.


Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyelenggarakan “Conference on Climate Change – Deforestation and Standardization” pada tanggal 31 Mei – 1 Juni 2010, di Kuta-Denpasar, Bali. Acara yang dihadiri 50 peserta dari dalam dan luar negeri ini bertujuan untuk menyelaraskan metodologi yang berkembang dalam monitoring karbon stock dan pengukuran emisi GHG dari deforestasi.



Acara dibuka oleh Deputi VII Menneg Lingkungan Hidup, Bidang Sarana, Prasarana & Peningkatan Kapasitas, Sudarijono (31/05/2010). Dalam kesempatan tersebut, Sudarijono membacakan sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa sebagaimana diidentifikasi dalam komunikasi antara Indonesia dengan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) profil GHG dari Indonesia didominasi oleh sektor kehutanan, termasuk lahan gambut. Dari target pengurangan 0,767 ton CO2e Giga di Tahun 2020, target nasional di sektor kehutanan adalah 0,392 Giga ton CO2e dan di lahan gambut adalah 0,280 Giga ton CO2e. Jadi total kontribusi dari kehutanan dan lahan gambut diharapkan memberikan kontribusi 0,672 Giga ton CO2e atau sekitar 87,6% dari total target nasional. Dengan dukungan tambahan dari negara-negara maju, target di sektor kehutanan dan lahan gambut yang lebih tinggi, dari 1,039 ton CO2e Giga.


Dari angka-angka ini, jelas bahwa ada kebutuhan mendesak bagi Indonesia untuk mengumpulkan semua metodologi yang diakui untuk pengukuran dan diakui praktek terbaik dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut.


Sementara itu, Kepala BSN, Dr. Bambang Setiadi yang menjadi Keynote Speaker dalam konferensi tersebut menyampaikan mengenai pentingnya standar deforestasi bagi daerah tropis. Dalam presentasinya, Dr. Bambang Setiadi mengatakan bahwa deforestasi adalah sumber anthro-pogenic terbesar kedua lepasnya karbon dioksida ke atmosfer, setelah pembakaran bahan bakar fosil. Deforestasi tidak hanya berdampak pada kandungan karbon atmosfer, tapi juga stok karbon di tanah.


Organisasi Standar Internasional (ISO) telah mengembangkan standar yang terkait dengan perubahan iklim pemantauan, ISO/TC 211 (Informasi Geografis dan Geometic) bekerja sama dengan Pangan dan Pertanian PBB (FAO). TC 211 juga bekerja sama dengan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) untuk mengembangkan standar untuk data meteorologi dan klimatologi. Sementara ISO/TC 207 membuat referensi untuk penyediaan GHG Protokol diterbitkan oleh World Resources Institute (WRI) dan Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (WBCSD). ISO juga menyusun ISO 14064 Green House Gasses.


Namun BSN menilai standar tersebut hanya berfokus pada bagaimana mengelola emisi gas rumah kaca dari kegiatan industri dan transportasi. Standar belum mempertimbangkan pengelolaan emisi gas rumah kaca sebagai akibat dari deforestasi dan degradasi hutan. Bahkan, emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dapat memberikan kontribusi hingga 20% dari total emisi, meskipun, di sisi lain, hutan memiliki kemampuan menghapus atau menyerap CO2 dalam memerangi perubahan iklim.


Dr. Bambang Setiadi berharap agar kegiatan Conference on Climate Change – Deforestation and Standardization dapat menghasilkan parameter untuk pengukuran untuk metode deforestasi, perjanjian tentang parameter, perencanaan item proposal baru atau standar baru untuk deforestasi, serta mencari dukungan dari negara-negara tropis.


Konferensi pada hari pertama menghadirkan pembicara-pembicara kompeten yaitu Paul Walakira dari Uganda National Bureau of Standards yang menyampaikan mengenai Implication of Forest Degradation on the Carbon Market Scheme on GHGs; Direktur Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi Kementerian Kehutanan, R. Iman Santoso yang menyampaikan mengenai Peraturan No. P.3/VI-Set/2010; I Wayan Susi Dharmawan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan yang menyampaikan mengenai Establishment of Allometric Equations of Several Important Plantation Forest Species for Carbon Biomass Estimate; Dr. Orbita Roswintiarti dari LAPAN yang menyampaikan mengenai Remotely-sensed Land Cover Change Program of the Indonesia's National Carbon Accounting System; serta Dr. Mitsuru Osaki dari Hokkaido University Jepang yang menyampaikan mengenai Carbon Initiative based on Sensing Technology in Tropical Peat and Forest.


Pada sore harinya, peserta workshop menikmati acara welcome dinner dimana selain menikmati makan malam, peserta juga disuguhi dengan kesenian khas Bali.(arf)







­