Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

SNI Cegah Banjir Produk Cina

  • Senin, 28 Desember 2009
  • 1507 kali
Menkeu akui industri manufaktur bakal paling terpukul.

Oleh: Teguh Firmansyah

JAKARTA -- Pemerintah akan menjadikan Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai salah satu senjata untuk mencegah membanjirnya barang impor dari Cina setelah diterapkannya perdagangan bebar ASEAN-Cina (ACFTA). SNI ini dipandang mampu menjaga kualitas barang yang masuk.

Deputi Menko Perekonomian Bidang Perindustrian dan Perdagangan, Edy Putra Irawadi, berpendapat penerapan SNI membuat kualitas barang yang masuk ke dalam negeri akan terjaga. Barang makanan atau minuman yang sudah kadaluarsa tiga bulan tidak boleh lagi melintas perbatasan.

Begitu juga dengan barang lainnya. Edy menyebutkan persyaratan SNI juga berlaku pada semua produk elektroik. ''Sebetulnya SNI ini tergantung kitanya. Sama seperti kalau kita memegang pisau. Jika di tangan tukang kue maka jadi kue, tapi berbeda kalau di tangan penjahat. Jadi intinya, kita harus seletif memilih mana yang terbaik untuk kita,'' ujarnya, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Edy akan bekerja keras mengawasi SNI. Dia bakal menjalin kerja sama dengan BP POM. Di samping itu, pemerintah juga akan menerapkan kebijakan lain untuk melindungi industri lokal. ''SNI hanya salah satu yang termasuk dalam syarat peredaran barang,'' tegasnya.

Syarat lainnya, Edy melanjutkan, ada dalam ketentuan label dan isi nutrisi yang harus dikandung sebuah produk. Barang Cina yang masuk ke Indonesia memang kerap dicurigai kualitasnya. Penerapan SNI ini diharapkan dapat mengurangi serbuan produk impor dari negara 'Tirai Bambu' itu.

Ketua Komisi VI DPR, Airlangga Hartarto, tampaknya tak setuju dengan penerapan SNI sebagai solusi mengatasi dampak perdagangan bebas dengan Cina. Dia mengatakan SNI bukan merupakan senjata yang ampuh untuk melindungi produk industri lokal. ''SNI hanya standar industri yang berlaku untuk seluruh produk,'' katanya.

Menghadapi ACFTA, Airlangga menegaskan, perlu adanya deregulasi pelabuhan tujuan impor barang. Kemudian, sambungnya, perlindungan konsumen dengan labelisasi barang yang dimengerti masyarakat Indonesia secara umum. ''Yang jelas Bahasa Inggris tidak cukup,'' ujarnya.

Disisi lain, Airlangga menyatakan, harmonisasi tarif dari hulu ke hilir serta peninjauan tarif yang akan diturunkan juga mesti diberikan pemerintah. ''Kalau hanya ditinjau kurang dari 350 pos tarif dari total tarif yang ada, terlalu sedikit,'' kritiknya.

Manufaktur terancam

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengakui sektor industri manufaktur kemungkinan akan merasakan dampak yang cukup buruk dari pemberlakuan perdagangan bebas. Sehingga, dia memandang, perlu dilakukan berbagai langkah antisipasi.

Salah satu kebijakan ke depan yang sekiranya cukup mendesak, yakni revitalisasi industri manufaktur. Meski, hal ini sangat sulit dilakukan di tengah kompetisi yang cukup ketat. ''Ini berarti tidak hanya sekadar memberikan insentif atau juga perbaikan dari infrastruktur, dari sisi governance juga dibutuhkan supaya tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi,'' jelasnya.

Menkeu mengingatkan keberhasilan pembangunan industri tidak hanya sekadar dari sisi kebijakan fiskal. Tapi, harus dilihat pula dari sisi reformasi dan akselerasi pembangunan infrastruktur terutama listrik dan jalan.''Karena itu adalah dua faktor yang sangat penting dan mempengaruhi struktur biaya dari Industri manufaktur,'' pungkasnya.n ed: budi r

Sumber : Republika, Senin 28 Desember 2009, Hal.14