Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Lembaga sertifikasi halal perlu akreditasi

  • Sabtu, 29 Agustus 2009
  • 2542 kali

Kliping Berita
Proses audit halal belum menggunakan standar sistem yang baku  
    
Dalam momentum pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sertifikasi Halal, pihak pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan pentingnya akreditasi lembaga sertifikasi halal. Mengapa?

Sertifikasi halal dikategorikan sebagai sertifikasi yang spesifik karena menyangkut aspek hukum positif dan aspek fiqih. Sertifikat halal adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga sertifikasi/pemeriksa halal yang menyatakan bahwa produk makanan atau minuman telah memenuhi standar yang dipersyaratkan.

Agar konsistensi dapat dicapai, lembaga sertifikasi/pemeriksa halal harus kompeten, kredibel, independen, memenuhi persyaratan internasional dan tidak bersifat monopoli.

Harapan konsumen Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam terhadap produk memenuhi syarat menjadi prioritas utama, yang meliputi makanan dan minuman yang mempunyai nilai gizi, aman dan memenuhi syarat kesehatan (thoyyib) serta memenuhi syarat halal (halalan thoyyiban).

Untuk memenuhi syarat halalan thoyyiban, industri makanan dan minuman harus menerapkan cara produksi yang baik (good manufacturing practices). Untuk membuktikan produk itu telah memenuhi syarat, salah satu caranya melalui sertifikasi.

Sertifikasi halal termasuk dalam kegiatan penilaian kesesuaian (conformity assessment) harus didasarkan pada lima hal.

Pertama, kompetensi. Lembaga sertifikasi/pemeriksa halal sebagai suatu lembaga penilaian kesesuaian (conformity assessment body) melaksanakan penilaian untuk menyatakan kesesuaian suatu produk terhadap persyaratan sistem jaminan halal.

Dalam sertifikasi halal di Indonesia belum dapat diidentifikasi adanya persyaratan lembaga pemeriksa halal yang ditetapkan. Dampaknya, kompetensi lembaga pemeriksa halal masih dapat ditingkatkan agar memenuhi persyaratan lembaga penilaian kesesuaian, sehingga dapat lebih profesional dan hasilnya konsisten.

Kedua, independensi. Di sisi lain, independensi lembaga ini dapat diidentifikasi dengan proses pengambilan keputusan suatu lembaga tidak dipengaruhi atau didominasi satu pihak tertentu. Mengingat di Indonesia lembaga pemeriksa halal fungsinya adalah memeriksa sistem jaminan halal dan melaporkan hasilnya (fact finding), independensi dapat dicapai dengan proses pemeriksaan (audit) yang objektif.

Ketiga, transparansi. Kepercayaan terhadap proses pemeriksaan (audit) halal merupakan faktor yang sangat penting. Apabila sertifikasi halal didukung oleh proses audit halal yang dapat diandalkan dan tepercaya, sertifikasi halal tersebut akan semakin dirasakan sebagai faktor yang dapat meningkatkan transparansi.

Di Indonesia, proses audit halal belum menggunakan standar sistem jaminan halal yang baku, sehingga penetapan kecukupan audit (adequacy audit) didasarkan pada sistem jaminan halal perusahaan yang diaudit.

Keempat, ketertelusuran. Ketertelusuran pertama adalah keputusan dengan rekaman yang tersedia yang harus dapat dijamin agar jika terjadi masalah atau dispute dapat ditelusur kembali dengan objektif.

Ketertelusuran kedua yaitu ketertelusuran pengukuran yang terkait dengan ketidakpastian pengukuran. Nilai ketidakpastian dapat ditimbulkan oleh alat ukur yang digunakan, ketelitian operator, dan kondisi lingkungan.

Untuk itu setiap hasil pengukuran yang berkaitan dengan pengujian produk halal harus diketahui ketidakpastiannya secara tepat.

Kelima, pengakuan internasional. Ini dapat dicapai apabila lembaga penilaian kesesuaian, dalam hal ini lembaga sertifikasi/pemeriksa halal, menerapkan persyaratan internasional dan diakreditasi oleh suatu badan akreditasi nasional yang sudah menandatangani saling pengakuan (Mutual Recognition Arrangement/MRA atau Multilateral Recognition Arrangement/MLA).

Meskipun telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan bahwa lembaga pemeriksa halal harus diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Namun, sampai sekarang amanat peraturan pemerintah itu pun belum dilaksanakan oleh lembaga pemeriksa halal.

Konsep OKI

Pada sidang ke-23 the Standing Committee for Economic and Commercial Cooperation of the Organization of the Islamic Conference (COMCEC) di Istambul, telah ditetapkan dalam resolusi 190.

Pada artikel Development of the Organization of the Islamic Conference (OIC) Halal Food Standards, dinyatakan bahwa sidang ke-9 OIC Standardization Experts Group diselenggarakan pada 2008 di Turki.

COMCEC juga menyetujui pembentukan dua komite, yaitu Komite 1, untuk penyiapan Standar Makanan Halal dan Komite 2, untuk menetapkan metodologi untuk prosedur sertifikasi dan akreditasi.

Kedua komite tersebut telah menghasilkan tiga konsep, yaitu Standar Halal OKI - Pedoman Umum tentang Makanan Halal, Pedoman untuk Lembaga yang Memberikan Sertifikasi Halal, dan Pedoman untuk Otoritas Badan Akreditasi yang Memberikan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Halal.

Tiga konsep tersebut disiapkan untuk difinalisasi pada sidang ke-10 the OIC Standardization Experts Group (SEG) tanggal 28-30 April 2009 di Ankara, tetapi baru satu konsep yang diselesaikan dan masih ada tiga hal yang perlu dimintakan pertimbangan dari the International Islamic Fiqh Academy (IIFA).

Ketiga hal tersebut terkait dengan hewan air (aquatic animals), alat potong hewan harus tajam dan terbuat dari stainless steel, dan pemotongan hewan secara mekanik (mechanical slaughter).

Pentingnya informasi perkembangan pembahasan sertifikasi halal di OKI ini adalah disepakatinya bahwa lembaga sertifikasi/pemeriksa halal harus diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional yang memenuhi persyaratan internasional.

Jadi dalam RUU tentang Sertifikasi Halal perlu diamanatkan adanya persyaratan lembaga sertifikasi/pemeriksa halal sebagai dasar untuk mengukur kompetensi dan konsistensi kinerjanya.

Jika memperhatikan Peraturan Pemerintah 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, persyaratan lembaga sertifikasi/pemeriksa halal dapat ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI) atau Pedoman Standardisasi Nasional.

Lembaga sertifikasi/pemeriksa halal harus menggunakan laboratorium penguji yang memenuhi persyaratan internasional atau diakreditasi KAN. Hal ini dimaksudkan agar ketertelusuran pengukuran dan keabsahan hasil ujinya dapat dijamin.

Lembaga ini juga harus diakreditasi oleh badan akreditasi, yaitu KAN, agar dapat dijamin kompeten dan memenuhi persyaratan internasional.

Oleh Suprapto
Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar, Badan Standardisasi Nasional (BSN)

Sumber : Bisnis Indonesia, Sabtu 29 Agustus 2009, Hal. 11




­